Sejak penampilannya tiga hari lalu, Riku menunjukkan sikap kekanakan. Dia secara terang-terangan meringkuk di sofa ruang musik sambil mengeluh panjang. Riku membuang napas berat berulang kali. Rui sampai bingung melihat perubahan perilaku Riku.
Rei menyeret satu kursi kecil dan duduk di sana. Mengamati wajah Riku yang tertekuk. "Kalau memang kau ingin melihat mereka, kenapa kau tidak kembali saja,"
"Tidak mungkin!" Riku buru-buru mengangkat kepalanya. Dia mengerucutkan bibirnya. "Aku meninggalkan mereka dan tiba-tiba kembali dengan koperku lalu tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa?! Tidak akan!"
"Lalu kau mau bagaimana?" Rei sampai membuang napas berat. Setelah menyembunyikannya selama dua bulan akhirnya sifat kekanakan Riku malah meluap tak terkendali. "Aku tidak yakin kalau ini masalah harga diri, karena kau memang tidak punya itu, tapi hanya itu yang bisa kau lakukan,"
"Aku memang tidak punya harga diri!" sungut Riku jengkel. Dia membenamkan wajahnya ke bantal. "Meski begitu... sulit sekali untuk menemui mereka setelah menyakiti mereka,"
"Aku tahu, tapi kau mau bertemu dengan mereka, bukan?" Rei bertanya dengan nada lembut.
Riku mengangguk kuat-kuat. "Tapi aku tidak punya keberanian untuk menemui mereka,"
"Kau mengakui kalau semua ini kesalahanmu, bukan?"
Riku mengangguk lagi.
"Kalau begitu kau yang harus mendatangi mereka," bujuk Rei hati-hati. Riku mendengus frustasi. "Aku tidak yakin bisa melakukannya,"
Umurnya memang sudah banyak, tapi tetap saja melihat laki-laki dewasa bertindak kekanakan cukup membuatnya lelah. Yah, Rei memahami perasaan Riku. Jadi, Rei hanya mencoba mengarahkan Riku untuk tidak menyesal.
"Ini bukan permainan petak umpet, Riku," Rei menarik napas panjang. "Kau yang bersembunyi, mereka yang mencari. Kau tidak bisa seegois itu,"
"Aku tahu!!!" Riku bersungut-sungut. Dia mengacak surainya sendiri. Menyisir poninya ke belakang. Menunduk dalam-dalam. "Tapi aku benar-benar ingin ditemukan mereka,"
---//---
Tangan Riku yang sudah dilapisi sarung tangan dia masukkan ke dalam saku jaket tebal. Hari ini dingin, tapi Riku ingin berjalan-jalan santai. Dia sering melakukannya untuk melihat langit senja yang cantik.
Menenangkan diri. Menghibur hatinya. Dia memang luar biasa egois. Mungkin kalau ada kesempatan, Riku tidak akan mengelak kalau dia dibilang kekanakan dan egois.
Evangelo sudah menawarinya untuk bergabung tetap di kelompok paduan suara, tapi Riku belum menjawabnya. Riku berulang kali menendang salju dengan ujung sepatu botnya. Hal pertama yang dia pikirkan adalah menolaknya.
Riku ingin kembali, tapi rasanya tidak ada jalan kembali.
"Bagaimana kalau meminta bantuan?" perkataan Rei menarik perhatian Riku dari agenda uring-uringannya. "Dulu aku tidak bisa melakukannya, tapi aku pasti akan membuatmu melakukannya,"
"Apa-apaan itu," Riku bergumam pelan. Kembali membenamkan wajahnya ke bantal.
"Mereka tidak akan bisa menemukanmu, kalau kau tidak memintanya," kata Rei lembut. Dia menepuk kepala Riku dengan buku yang dipegangnya. "Saat kau merasa tidak bisa melakukan apa-apa, kau masih bisa meminta tolong pada orang yang kau percaya,"
Rei berdiri dari duduknya. Sebentar lagi waktunya kafe tutup. Rui memperhatikan mereka berdua dari pintu. Bingung. Rei tersenyum menyentuh bahu Rui. "Orang yang peduli padamu pasti tidak akan tinggal diam,"
Perkataan Rei masih menempel di otaknya dengan sangat jelas. Riku sangat setuju dengan itu, tapi dia takut. Takut kalau dia ditolak. Takut kalau mereka membencinya. Takut harus berpura-pura semuanya baik-baik saja setelah menyakiti banyak orang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Another Note [IDOLiSH7 Fanfiction: RESTART POiNTER] END
FanfictionKatanya dia seperti buku. Mudah dibaca. Tetapi apa pembacanya sudah membacanya dengan benar? atau belum sampai ke kisah masa lalu yang disembunyikan? Janji masa lalu yang ditagih membuat kekacauan. Bisakah mereka melupakannya atau menghadapinya? Ke...