46. Saling Memafkan

12.3K 1.5K 485
                                    

Haii
Kalian gak nangiskan di chap sebelumnya? 🤭
Jangan lupa VOTE & KOMEN yang banyak yaa 😉
Awas Typoo!!

HaiiKalian gak nangiskan di chap sebelumnya? 🤭Jangan lupa VOTE & KOMEN yang banyak yaa 😉Awas Typoo!!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Previously

Di sisi lain, Dylan hanya bisa tertunduk tak berdaya. Dirinya masih ada saat itu, masih bersama mereka. Tapi, dia bahkan tidak tahu-menahu terhadap apa yang terjadi pada anak-anak Arthur. Betapa bodohnya dia. Dylan ingat, di usia itu juga, untuk pertama kalinya Alan tidak lagi memanggil Arthur dengan sebutan Daddy.

Dylan tidak bisa membayangkan, bagaimana hancurnya perasaan seorang anak berusia enam tahun yang harus diberi kado mengerikkan di hari ulang tahunnya. Menyaksikan secara langsung kematian wanita yang telah berkorban untuk mereka. Sungguh, jika itu terjadi pada dirinya, dia tidak akan bisa sekuat Alan. Dia pasti sudah gila sekarang.

🧸🧸🧸

BRAKKK

Pintu kamar Dylan terbuka dengan kasar. Arthur muncul, berjalan gontai ke arah Alan setelah meminta James dan Aaron melepaskan dirinya. Dia telah mendengar semuanya. Arthur telah mengetahui semuanya. Perjuangan anak-anaknya ternyata sangatlah berat.

Arthur membawa Alan pada pelukannya membuat Arvind dan Aska segera menyingkir. Tidak ada penolakan dari Alan, anak itu hanya terus menenggelamkan dirinya ke dalam pelukan Arthur.

"Kau brengsek... Mommy masih saja mencintaimu bahkan setelah semua yang kau lakukan padanya. Aku masih ingat jelas bagaimana Mommy memohon padaku untukmu," Alan tidak bisa lagi mengendalikan dirinya. Tangisannya semakin mengeras. Akhirnya dia menumpahkan semua keluh kesahnya selama bertahun-tahun.

"Kenapa kau sangat brengsek, Dad? Kenapa? Kenapa kau tidak melihat ke arah Mommy? Kenapa kau mencampakkan wanita sebaik dirinya? Kenapa membiarkan cinta pertamaku tersakiti? Kenapa? Kenapa? Kenapa Daddy? JAWAB!!" bentak Alan tanpa  sadar telah memanggil Arthur sebagaimana seorang anak memanggil ayahnya.

"Maaf... Maaf..." Hanya kata itu yang bisa terlontar dari bibir Arthur. Rasa bersalah semakin menggerogoti hatinya.

Dylan dan James pun ikut menangis. Begitu juga Aska yang sedang memeluk Arvind dan Aaron. Kamar Dylan seakan menjadi saksi bisu betapa menyedihkan dan kejamnya perjalanan yang harus di lalui keluarga ini selama bertahun-tahun.

Dibalik kemewahan, dibalik kekuasaan, dibalik kebahagiaan, dan tawa yang mereka lewati ada kenyataan pahit bagai beling yang mencoba mencabik mereka dari dalam. Menghancurkan mereka berkeping-keping.

Dylan jadi berpikir, apakah tawa, candaan, tingkah konyol dan ceroboh yang ditunjukkan oleh mereka ternyata hanya kepalsuan belaka? Untuk menutupi rasa sakit itu?

VAREL (TAHAP REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang