Aku tidak pernah membayangkan
Jika aku hanya tinggal di dunia bayangan
Lalu di mana kehidupan ku yang sebenarnya?
Apa benar aku sekarang seorang putri Mawar?
Ku pikir kenapa mama dan papa sempat memberikanku nama itu, ternyata ini karena pengaruh du...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
~ Selamat Membaca ~
Aku tanpa sadar sejak tadi malah menggenggam tangannya, memperlakukan pria yang baru ku kenal layaknya anak kecil yang akan hilang jika ku lepas sekejap.
"Huh, sampai juga. Kamu tunggu sebentar ya. Jangan bicara apa pun," pesanku menaruh satu jari telunjuk di bibirku.
Dia hanya mengangguk patuh.
Aku mulai memegang gagang pintu, benar saja rumah sudah gelap. Seperti nya Risra telah tidur, biasanya kami memang sering mematikan lampu kecuali lampu depan.
Layaknya seperti maling tengah malam yang sedang beraksi kami terus melihat ke kanan dan ke kiri, tapi baru saja hendak tenang mataku tak sengaja melihat sesuatu yang putih dan hampir berteriak.
Untung saja pria itu langsung membekap mulutku, ia berkata jika yang aku lihat hanyalah kain putih yang di gantung.
"Issss, suasana lagi Horror kayak gini malah makin horror. Lagian tu anak ngapain sih asal nyangkut?" geramku memilih menarik kain itu dan menjatuhkan saja di atas lantai.
Masa bodoh jika nanti Risra marah, harusnya dia sedikit pintar menaruh kain putih agar tidak sembarangan. Kalau gini ceritanya, aku bisa jantungan setiap malam kalau mau ke dapur.
"Ayo," aku kembali menarik tangan pria yang hanya menatapku sibuk berceloteh tanpa berani ikut berbicara.
"Oh iya, kok kamu pas aku ngomel - ngomel bukannya bantu aku diem?" tanyaku menaikkan satu alisku.
"Kata mamaku kalau cewek lagi marah, itu jangan di ajak ngomong. Entar akunya yang kena getah," jawabnya jujur.
"Pinter, aku suka keputusan mu." senyumku yang akhirnya tertawa ringan saat dia menunduk setelah menunjukkan ekpresi wajah yang sangat menggemaskan.
"Ini ada handuk aku, pakai aja buat keringin diri kamu. Gak usah sok geli, aku gak panuan kok." ucapku menyerahkan satu anduk yang baru saja ku ambil di lemari.
"Kenapa kamu memerhatikan ku lebih dulu? liat, bibirmu saja sudah pucat." unjuknya.
"Tenang saja, aku ini anak yang kuat. Jadi tidak akan mudah sakit," ucapku menepuk dadaku dengan senyuman percaya diri.
Dan...
Hashi! Hashi! Hashi!
Entah kenapa kondisi tubuh sangat tidak mendukung, hidung ku malah terasa gatal.
"Sialan! kok malah jadi gini sih? sia - sia aja aku sok kuat," batinku kesal.
"Mending saran aku kamu keringin diri kamu duluan, terus baru kamu mikirin aku. Aku masih tahan kok." ucapnya kembali menyerahkan anduk warna merah ke arahku.
"Udah gak usah, itu emang buat kamu. Punyaku di gantungan sana. Ya kali aku mau kasih kamu bekas elapan badan aku tanpa cuci dulu," responku lalu bergegas masuk ke kamar mandi.
Sebelum masuk, aku menuju lemari dulu untuk mengambil baju tidurku. Tidak mungkin aku melakukan aktivitas biasaku yang memakai baju di luar kamar mandi, ya... Lain halnya yang bertamu cewek.
"Aku udahan, kamu masuk sana. Kejap, aku mau ambil baju papaku buat kamu. Kali aja ada yang seukuran kamu," beritahu ku lalu keluar dari kamar.
◍• Dikamar papa •◍
Lemari baju yang awalnya rapi menjadi kacau balau jika aku yang turun tangan mencari, dulu di rumahku pasti harus ada bibi yang mengambil apa pun yang aku perlukan.
Ya, ku akui tanganku sedikit pengacau.
"Astaga papa bajunya banyak banget sih? ada yang masih berlebel lagi. Tapi kenapa papa suka numpuk? jarang banget aku liat papa pakai," pikirku bingung.
"Haihhhh... Ini baju semuanya pada besar, gak ada yang lain tah? resahku sambil melempar baju ke atas kasur.
Sekarang kasur papa malah penuh dengan baju yang menggunung tanpa di lipat, tapi aku memilih acuh karena besok bibi pasti akan datang buat rapihin.
Karena rumahku dekat dengan bibi jadi bibi bisa pulang pergi dengan mudah, alhasil bibi jarang banget tidur di rumahku waktu malam.
Saat aku hampir putus asa untuk memilih baju, akhirnya aku membuka baju berlebel yang terlihat sedang.
"Nah, nemu juga. Dari tadi kek kelihatannya, jadi kamar papa gak perlu kayak abis di acak maling." gelengku berjalan ke luar kamar.
"Ckkk, kau belum tidur rupanya."
Aaaaaaaaaa
Teriakanku cukup keras saat melihat seorang wanita yang mukanya di tutupi masker, dua potongan bulat timun turut menempel pada setiap matanya.
"Busettt dah Risra, kamu itu kerjaannya ngagetin aja." kagetku memegang dada.
"Apa yang salah denganku? ku hanya pakai masker kok dan lagi timun itu bermanfaat banget buat segarin mata aku, masih ada yang salah?" sinisnya.
"Ya setidaknya mau masuk ketok pintu dulu kek," kesalku.
"Heh, aku datang ke sini pintu udah ke buka. Awalnya ku pikir kamu itu udah tidur, pas dengar ada suara berisik banget di kamar ini ya aku chek dong. Mana tau maling," jelasnya.
"Emang! aku malingnya di sini," batinku kesal.
"Yaudah - yaudah terserah kamu aja deh Risra, sekarang kamu udah liat sendiri kan kalau aku bukan maling. So, kamu udah waktunya balik kamar. Malam ini entah kenapa rasa laparku kumat, jadi aku mau buat makanan di dapur. Jangan keluar lagi nanti," pesanku.
"Aneh, gak biasanya kamu gitu. Kalau mau masak hati - hati, cuma rebus air aja boleh, asal jan sentuh yang lain kalau gak mau rumah kamu jadi kebakaran untuk yang kedua kalinya cuma gara - gara lupa matiin kompor." peringatnya.
"Hadeh... Masa lalu jangan di bahas lagi, lagian rumah yang sempet jadi abu kan tinggal kenangan. Sakarang kita udah di rumah baru," acuhku.
"Apa salahnya ingatin kamu coba? benar - benar ya," resahnya tak habis pikir lalu berlalu meninggalkan ku menuju ke kamar.
Aku justru merasa senang saat ia tak lagi membalas apa yang aku katakan, karena aku sendiri sedikit malas mengingat hal tentang masa lalu.
Seketika pikiranku teringat tentang hari esok, hari yang membuat kakiku akan pegal saat guru terlalu lebar berceramah ketika upacara bendera berlangsung. Mana panas banget lagi, mana di kasih pake topi.
Krekkkk
Suara gagang pintu membuat pria yang ada di kamar mandi girang, entah sudah berapa lama ia menunggu kedatangan Mawar.
"Hei, buka pintunya. Ini ada baju sama celana ganti buat kamu, aku tinggal lagi ya. Mau nyeduh emi," pamitku berlalu setelah lawan bicara menerima baju.
"Untung kamu ketemu denganku, coba aja masih di sana. Mungkin kamu di tangkap sama preman gila! udah pasti jadi pengamen jalanan, percuma menang tinggi tapi kelihatan pengecut." dumelku yang sebenarnya lebih ke cemas.
Pria yang mendengar celotehan Mawar bukannya tersinggung malah tersenyum, ia terlihat jelas begitu bahagia saat ini.
"Kamu mau di tubuh mana pun tetap aja gak berubah, mungkin aku memilih untuk tidak mengunggah identitas ku terlalu cepat. Maaf telah membuatmu cemas, setelah ini aku akan kembali menjadi diriku lagi." batinnya.