Kalingga 08

475 46 11
                                    

Happy reading
Jangan lupa vote dan komen juseyoooo
Sorry for typo 😇

.

.

.



Kevin dan Kenan tengah berbaring di kamar Kevin setelah insiden jatuhnya gelas Kenan, mereka saling merenung memikirkan hal yang sama.

"Kak? Apa kita kena karma?" Tanya Kenan membuyarkan lamunan Kevin.

"Karma apa sih? Ngaco aja deh." Sahut Kevin sembari merubah posisinya menjadi menghadap Kenan.

"Kita telah melanggar janji kita pada ibu, janji untuk tak membenci Bian, dulu kita berjanji pada ibu sebelum ibu pergi kita tak akan membenci Bian namun kita melanggarnya bukan." Kenan menjeda ucapannya sembari merubah posisinya memunggungi Kevin.

"Walaupun ibu marah pada ayah tapi ibu bilang tak pernah membenci Bian karena yang salah bukan Bian, t-tapi aku selalu mengingat kepergian ibu saat melihat Bian kak, jika dulu ayah tak membawa Bian sekarang pasti ibu masih bersama kita, itu yang aku pikirkan, aku tak sepenuhnya membenci Bian tapi aku selalu tak sengaja berbuat jahat karena aku selalu mengingat ibu saat ada Bian." Lanjut Kenan dengan terisak kecil, hati dan pikirannya tak seiras, pikirannya selalu menyalahkan Bian namun dalam hati kecilnya ia menyayangi Bian sebagai adiknya.

Kevin merengkuh tubuh adiknya kedalaman dekapannya untuk memberi ketenangan, ia mengusap pelan air matanya agar Kenan tak mengetahui jika ia juga menangis, sama seperti Kenan ia juga bimbang, dendam dan rasa sayang menjadi satu.

"Besok kita ke rumah ibu ya, kita bicarakan semuanya pada ibu, dan kita meminta maaf pada ibu telah melanggar janji kita dan kembali memperbaiki keadaan, kakak hanya tak ingin menyesal setelah om Rendi membawa Bian karena kita terus menyakitinya, dan bukannya kita berdosa jika memisahkan ayah dengan Bian, dia anak ayah juga kan." Tutur Kevin yang mengeratkan pelukannya pada Kenan, bagi Kevin menerima Bian cukup sulit sama halnya dengan Kenan, bayangan masa lalu yang kelam bagi mereka selalu menghantui.

***
Kevin menuruni tangga dari kamarnya menuju dapur untuk mengambil air minum, namun telinganya samar-samar mendengar suara bersin yang tak kunjung reda dari arah belakang rumah, dengan langkah santai Kevin menghampiri sumber suara.

"Oiitt, Napa bersin-bersin mulu?" Tanya Kevin membuat Bian menoleh dan terlonjak kaget.

Bukan menjawab Bian malah menutup hidungnya karena refleks, bahkan bersin-nya tertunda karena kedatangan kakak pertamanya.

"Orang nanya itu di jawab." Ujar Kevin sembari mendekati Bian yang masih berdiri mematung, ia semakin dekat dengan Bian hingga jarak di antara keduanya hanya tingga beberapa jengkal.

Dengan tangan kanannya Kevin menyentuh dahi Bian guna memastikan suhu tubuh adiknya, "kan panas lagi kan, makanya orang sakit tuh di rumah bukan kelayapan."

Bian menepis tangan kevin yang berada di dahinya, sungguh sekarang Bian rasa jantungnya akan berpindah ke ginjal jika saja Kevin tak memberi jarak lebih di antara mereka.

"A-aku tak apa kak, j-jangan khawatir karena aku masih bisa memasak makan malam menggantikan bibi." Ujar Bian yang beranggapan jika Kevin hanya memastikan Bian bisa memasak makan malam seperti dulu ketika bi Ratih tak bekerja.

Bian melangkah melewati Kevin untuk menuju dapur, namun baru beberapa langkah ia berhenti karena Kevin menahan tangannya.

"Siapa yang nyuruh masak?" Tanya Kevin yang masih memegangi lengan Bian.

"T-tidak ada, tapi Bian siap menggantikan bibi untuk memasak makan malam agar ayah, kak Kev dan kak Ken tidak kelaparan, Bian akan melakukannya seperti biasa walaupun Bian sedikit tidak enak badan Bian bisa." Sahut Bian dengan menunduk, ia tak berani menatap kakaknya yang tengah menatapnya dengan tatapan sendu hatinya menclos mendengar penuturan adiknya.

"Ayah akan pulang sebentar lagi dengan membawa makanan, pergilah beristirahat sembari menunggu ayah." Kevin melepas genggamannya dan sedikit mengusap bahu Bian sebelum meninggalkan Bian yang terdiam dengan mulut terbuka.

Bian mencubit tangannya sendiri dan mendesis sakit karena cubitannya cukup keras, "bukan mimpi ya?"

.

.

Bian tengah duduk canggung di kursinya, Mahendra telah pulang dan tiba-tiba ayahnya itu memintanya untuk makan malam bersama dan ini adalah makan malam kedua dengan keluarganya, Bian rasa ia akan kesusahan menelan makanan bukan karena tenggorokannya sakit, melainkan kecanggungan yang terjadi di rumah itu.

Bian menatap piring di depannya, baru sekitar dua sendok Bian memakan makanannya dan harus terhenti karena ayahnya mengambilkan seafood yang di taruh di piring untuknya, bukan Bian tak ingin memakannya hanya saja ada udang di dalamnya dan tak mungkin Bian memakannya karena ia alergi dengan udang, hanya dengan memakan masakan yang tercampur udang saja ia bisa pingsan bagaimana jika memakan udangnya langsung, bisa-bisa ia masuk UGD detik itu juga atau malah pindah alam.

"Kenapa diam? Apa kau tak suka makanannya?" Tanya Kenan yang duduk di sebelah Bian.

"Suka kog, Bian sangat suka." Jawab Bian lirih.

"Terus? Kenapa ga di lanjutin makannya?." Kini Kevin yang bertanya karena ia juga penasaran mengapa Bian tak melanjutkan makannya.

"Bian alergi udang." Jawab Bian dengan intonasi yang masih lirih dan sekarang ia malah menundukkan kepalanya.

"Kenapa tidak bilang kalo alergi udang hmm?" Mahendra ikut buka suara.

"Karena tidak di tanya." Jawab Bian yang masih menunduk tapi semua orang masih dapat melihat dengan jelas jika Bian tengah mengerucutkan bibirnya.

Mahendra menghelas nafas mendengar jawaban polos putra bungsunya, sembari tangannya bergerak mengambil piring baru dan nasi dengan lauk ayam, "Itu jangan di makan, ayah tak ingin kamu sakit."

"Terimakasih ayah, terimakasih kak Kev dan terimakasih kak Ken, Bian tidak mengerti dengan apa yang terjadi, tapi Bian bahagia dan Bian harap ini semua bukan hanya mimpi bagi Bian." Ujar Bian dengan tersenyum namun air matanya menetes membasahi pipi gembilnya.

Mahendra meletakkan alat makannya, berdiri dan menghampiri putra bungsunya merengkuh kedalam dekapannya.

Bian menangis sejadi-jadinya dalam dekapan ayahnya, untuk pertama kalinya Bian merasakan dekapan hangat sosok ayah yang selalu ia dambakan.

"Tuhan terimakasih telah mewujudkan impianku." Batin Bian penuh rasa syukur.

"Maaf, maafin ayah." Ujar Mahendra sembari mengeratkan pelukannya.

Kevin dan Kenan tak mau kalah dan ikut serta memeluk Bian hingga Bian tenggelam dalam dekapan mereka, meski sedikit merasa sesak tapi rasa bahagia lebih mendominasi jiwa Bian.

"Ayah janji akan perbaiki kesalahan ayah, Bian mau kan memaafkan ayah dan kakak-kakakmu?" Tanya Mahendra was-was, ia masih belum melepaskan pelukannya sebelum Bian menjawab pertanyaannya.

"Bian tidak pernah marah, seperti yang Bian selalu katakan jika Bian sayang ayah, sayang kak Kevin dan sayang kak Kenan selamanya." Sahut Bian lirih namun masih bisa di dengar jelas ketiga manusia yang kini saling menghela nafas lega.

Bian telah mendapatkan kebahagiaannya.
Namun bukannya kehidupan tidak akan seindah itu? Bian harap ia dapat merasakan kebahagiaan itu untuk waktu yang tidak sedikit. (Tergantung author xixixi)

***

Annyeong yeorobunnnnn, gimana kabar? Baik? Alhamdulillah.

Terimakasih buat vote dan komennya 🩷🩷
See u next chapter 🩷🩷

Aul harap booknya rame ya.. biar semangat gitu buat update hehehe

감사합니다



Kalingga Biantara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang