***
Mahendra berlari bak kesetanan dari pintu masuk rumah sakit, memaki-maki petugas rumah sakit yang tak segera memberikan brangkar, ya pihak rumah sakit mana tahu kalo keadaan darurat kan datangnya ngga pakek ambulan, tapi ya maklum aja kan panik.
Setelah Bian di bawa masuk ke ruang UGD Mahendra terduduk lemas di depan pintu dengan detak jantung yang tak beraturan antara lelah dan khawatir, tangan dan kakinya bergetar penuh rasa takut, melihat putra bungsunya yang kesusahan bernafas seperti tadi mengingatkannya pada mendiang putra kecilnya yang lain dan mendiang istrinya.
"Bertahanlah sayang, ayah mohon." Ujar Mahendra lirih sembari bangkit dari posisinya, ia memilih duduk di kursi tunggu depan ruangan, dan mengambil ponselnya yang terdapat banyak panggilan tak terjawab dari putra sulungnya.
***
Kevin, kenan dan Kaivan tengah duduk melingkar mengelilingi lilin yang menyala di depan kelas kosong, bukan rasa takut yang mereka rasakan melainkan rasa khawatir karena Mahendra maupun Bian tidak ada yang menjawab panggilan Kevin."Dua kali panggilan ngga ada jawaban kita pulang." Putus Kevin sembari kembali memanggil ayahnya menggunakan ponsel dan kedua panggilan itu tak ada satupun jawaban dari Mahendra.
"Kita pulang aja, biar ponsel sama dompet kalian gue yang ambil sekalian izin sama ketos nya, kalo kalian yang minta izin pasti ngga di bolehin." Ujar Kevin sembari bangkit dari duduknya dan menuju kelas khusus panitia.
Kenan melihat jam di tangannya dan sebentar lagi waktunya materi untuk kelas sepuluh dan pengisinya kelas sebelas, kemungkinan di izinin pulang sangat kecil, karena inti acaranya ada pada tengah malam nanti.
Kevin kembali dengan raut sebalnya, sudah bisa di tebak jika Kevin tak mendapatkan izin pulang.
"Gimana bang?" Tanya Kaivan tak sabaran.
"Anjirlah bangke ga bisa cok, minimal kalo mau izin pulang setelah pengambilan id card." Sahut Kevin tak lupa sumpah serapah dalam hati buat si ketos tercinta.
"Kalian mending balik dah ke kelompok masing-masing, bentar lagi juga udah mulai materi, tuh anak-anak yang kesurupan juga udah pada sadar, tentang Bian kalian tenang aja kan tadi ayah bilang kalo udah deket rumah, sekarang juga pasti udah di rumah terus Bian sama ayah." Tutur Kevin sembari menepuk pundak Kaivan berharap sahabat adiknya itu sedikit lebih tenang, Kevin takutnya kalo Kaivan kebanyakan ngelamunin Bian malah jadinya kesurupan, jadinya malah susah kan Kaivan bongsor kalo ngamuk repot, mana setan di sekolah mereka ganas-ganas kaya tadi ada yang kesurupan sambil kayang muter lapangan itu tuh si Arthur antek-anteknya si Devano entah kesurupan beneran atau iseng ngga ada yang tau soalnya antara kesurupan atau kebiasaan beda tipis.
Kaivan dan Kenan hanya bisa pasrah, mereka juga ngga senekat itu buat melanggar peraturan, walaupun tetap khawatir dengan Bian dan belum tentu juga Bian dalam masalah, bisa jadi saat Kaivan nekat pulang tau-taunya Bian lagi bobo santui sama ayahnya dan lagi pula listrik telah menyala saat Kevin balik dari meminta izin tadi, ckckck Kai tak tau saja kau kalo bestimu itu sekarat :v .
***
Sepuluh menit Mahendra menunggu dengan rasa cemas, Rendi dan Daniel baru saja memasuki UGD, alih-alih menghubungi Kevin, Mahendra lebih memilih menghubungi Rendi dan Daniel karena mereka yang lebih paham dengan kondisi Bian, dan juga Mahendra tak ingin menganggu aktivitas Kevin selama kegiatan di sekolah, Mahendra hanya memberi pesan pada Kevin jika Bian bersamanya agar Kevin merasa lebih tenang, lagi pula Mahendra kan tidak bohong hanya sedikit menutupi keadaan Bian.Cemas menunggu hingga pintu ruang UGD terbuka membuat Mahendra segera bangkit dari duduknya dan menghampiri Rendi yang keluar dengan beberapa suster yang membantunya mendorong brangkar pesakitan Bian dengan Daniel yang membantu memegang tiang infus, ada beberapa alat yang menempel pada tubuh Bian yang bahkan Mahendra saja tidak tau namanya, ingin rasanya Mahendra mencabut semua alat penunjang kehidupan putranya, membawa Bian pulang dan mengulang waktu di mana Mahendra masih menemani Bian menonton kartun favoritnya.
Andai saja Mahendra tak meninggalkan Bian sendirian di rumah pastinya sekarang Bian baik-baik saja, bercerita random di kasurnya sebelum tidur atau menonton film horor dengannya, namun itu semua hanya andai-andai semata, nyatanya Mahendra gagal lagi dalam urusan menjaga putranya.
"Kak, jujur aku ngga tega bilangnya tapi kakak perlu tau jika Bian sedang tak baik-baik saja." Ujar Rendi yang kini berdiri di hadapan Mahendra dengan raut wajah yang sulit di jelaskan.
"Katakan Ren, katakan semua hal tentang Bian, jangan ada sedikitpun yang di tutupi dariku." Sahut Mahendra mencoba menyangkal hal-hal buruk dalam pikirannya.
"Karena telatnya penanganan pada Bian membuat jantungnya semakin rusak, ia hampir saja pergi kak, jika telat sedikit lagi saja mungkin sekarang Bian tak lagi di sini, Bian benar-benar butuh perhatian khusus sekarang kak, Bian ngga bisa melakukan aktivitas yang membuatnya lelah dan tak lagi bisa makan sembarangan barang sedikit." Tutur Rendi membuat Mahendra lemas di tempat, ia kembali terududuk di kursi dengan tangan yang mengepal kuat, rasanya dunia Mahendra tengah runtuh, hatinya seperti terlempar batu besar, rasanya sangat sesak di dada.
"Ini semua salahku Ren, andai saja aku tak ke kantor dan menemani Bian di rumah sekarang pasti baik-baik saja, aku gagal Ren sekali lagi aku gagal menjaga putraku." Ujar Mahendra dengan suara bergetar.
Rendi mengusap bahu yang terlihat kokoh namun rapuh itu, bahu yang dulunya ia gunakan untuk bersandar ketika lelah fisik maupun batin.
"Kita berjuang sama-sama ya kak, aku juga sangat menyayangi Bian."
Mahendra hanya mampu berdoa pada Tuhan untuk putranya, ia berdiri dan berjalan beriringan dengan Rendi menuju kamar rawat putra bungsunya.
Sesampainya di ruangan Bian Mahendra mendekati brangkar pesakitan Bian mengusap pelan surai putranya, wajah manis putra bungsunya yang selalu menampilkan wajah ceria kini tergantikan dengan rona pucat pasi, sedangkan Rendi kembali ke ruangannya setelah mengantar Mahendra ke ruangan Bian.
"Bangun sayang, ayah di sini, ayah minta maaf." Air mata Mahendra yang ia tahan akhirnya lolos juga, berlomba-lomba berjatuhan pada bantal yang di gunakan Bian.
Sekuat-kuatnya Mahendra menahan sebagai seorang ayah Mahendra tentu merasakan sakit ketika melihat putranya terbaring lemah dengan alat penunjang kehidupan, Mahendra masih di beri kesempatan oleh Tuhan untuk menjaga putranya sekali lagi, dengan kesempatan itu Mahendra akan gunakan sebaik-baiknya.
Rendi memasuki ruangan setelah berganti baju, ia menyimpan jas dokternya di ruangan kerjanya dan berganti kemeja karena jadwal di rumah sakit telah selesai.
"Istirahat dulu kak, biar Bian aku yang jaga." Ujar Rendi sembari menepuk pelan bahu kakaknya.
Mahendra hanya menghela nafasnya dan melangkah pelan untuk duduk di sofa yang ada di ruangan itu, tentu Bian berada di ruang VVIP jadi tersedia beberapa fasilitas yang bisa digunakan jika ada yang menjenguk ataupun menemani pasien.
***
See u next chapter guyss 🤗
Selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang menjalankan 🩵🩵감사합니다
KAMU SEDANG MEMBACA
Kalingga Biantara [END]
Novela Juvenil"Kalingga butuh pelukan ayah." #1Junkyu [21-01-24] #1 Kaivan [01-02-24] #2 Junkyu [18-03-24] #2 treasure [21-03-24] #3 Junkyu [25-03-24] Start -> 10-01-24 End -> 23-04-24