Aldi menatap Evan yang saat ini sedang fokus mengerjakan sesuatu di laptopnya. Pria itu seperti tidak peduli dengan kedatangan Aldi. Padahal, dia juga yang mempersilahkan Aldi untuk masuk ke kamarnya.
"Kau ada perlu apa kemari?" tanya Evan mengisi keheningan di antara mereka berdua. Sementara fokusnya masih setia pada laptop yang menampilkan tugas kuliahnya.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Aldi balik.
Evan tiba-tiba menghentikan kegiatannya. Matanya menatap ke depan sebelum akhirnya menoleh ke arah Aldi. Setelah itu, ia kembali menatap layar laptopnya.
"Aku baik-baik saja, ada perlu apa kau kemari, to the point, saja."
"Aku... aku hanya ingin menemuimu."
Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, Evan beranjak dari posisinya menuju pintu dan membuka pintu itu lebar. "Aku sibuk, sebaiknya kau pulang saja, lagian sejak kapan kau peduli?"
"Van, ayo kita kesampingkan masalah keluarga kita, aku tak mau permasalahan ini berlanjut sampai ke bawah-bawah," ucap Aldi.
"Maksud kamu apa?" tanya Evan bingung.
"Aku tau papa ku salah sudah menjebloskan paman ke penjara, tapi ayolah Van, itu masalah mereka. Aku kesini juga ingin meminta maaf mewakili keluargaku."
Evan tidak merespon sama sekali. Ia menatap ke luar kamar lalu kemudian kembali menatap Aldi yang kini sudah berdiri dan mendekat ke arahnya. "Kau akan tau rasanya kalau kau sudah tidak punya siapa-siapa lagi, Di!" jawabnya tanpa peduli perbedaan jarak usia antara mereka berdua.
"Aku minta maaf, Van, aku juga tidak tahu kalau semua yang papa lakukan itu fitnah semua demi mendapatkan warisan dari kakek."
Tanpa memperdulikan Aldi yang memohon, Evan kembali ke kursinya lalu menutup jendela software hingga menampilkan wallpaper yang menampilkan foto Evan dan temannya yang mengikuti kegiatan pameran tempo hari. Tentu saja Aldi terfokus pada sosok pria yang mengenakan pakaian pangeran di sana. Ia sangat mengenal pakaian itu.
"Kau satu kampus dengan Deren?" tanya Aldi mencoba mengalihkan pembicaraan mereka. Lagipula, tujuan dia ingin bertemu Evan hari ini adalah ingin bertanya tentang Deren. Tidak ada yang lain. Hanya saja, obrolan tentang keluarga itu muncul karena Evan sangat membenci keluarga Aldi.
"Kau kenal dia?" tanya Evan akhirnya.
"Kenal, senyumnya sama kayak Akila, entah kenapa aku sangat menyukainya."
Mendengar kata-kata terakhir membuat Evan sedikit merasa aneh. Ia mengalihkan tatapannya ke Aldi yang saat ini menatap layar laptopnya. "Kau menyukai Deren?"
Pertanyaan itu tentu saja mendapat anggukan dari Aldi. Dan saat itu juga Evan seketika merasa semakin ragu. Yang tadinya di berharap bisa mendapatkan hati Deren, kini harapan itu akan tetap menjadi harapan.
"Sejak kapan?" tanya Evan penasaran.
"Kami bertemu saat reunian kampus, dia masuk toilet ketika aku ada di sana, kami ketemu lagi di kafe, dia datang dengan Ardian dan Aryo."
Seketika, Evan mengingat alasan Deren saat itu yang menolak ajakannya untuk jalan, ternyata saat itu ia tak sengaja bertemu dengan sepupunya ini. Ralat, bukan bertemu, tapi tak sengaja bertemu.
"Aku dengar-dengar, kau kenal dekat dengan dia?"
"Aku? Tidak, kami tak dekat," ucap Evan menyangkal. Dia tidak tau apa alasan dia memberikan jawaban itu. Kalimat itu muncul begitu saja.
"Benarkah? Tapi dia sendiri yang bercerita ke aku kalau kau pernah menceritakan kisah Narcissus dan kisah mitologi lainnya."
Tidak ada jawaban dari Evan. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Deren ternyata kenal dengan pria ini yang mana notabene nya adalah sepupunya sendiri. Entah apa yang ingin dunia tunjukkan tapi Evan merasa dunia ini sangat tidak terduga. Kemarin dia merasa percaya diri. Sekarang, rasa percaya dirinya berkurang drastis.
KAMU SEDANG MEMBACA
hi you!
RomanceKetika sebuah "hi" harus bertemu "goodbye", semua akan sangat merasa kesepian. Jatuh bahkan merasa tidak bisa berdiri karena kaki yang tidak bisa menopang lagi. Memang, perpisahan adalah kata yang harus dihilangkan dari muka bumi. Tetapi, tidak bisa...