19. point of view

65 13 8
                                    

Gino duduk diam di kursinya dengan tangan yang masih bermasin di atas keyboard komputernya. Matanya masih saja fokus pada layar monitor sampai tidak menyadari kalau Aldi sudah berdiri di sampingnya sejak semenit yang lalu. Laki-laki itu hanya diam dan terus memerhatikan rekan kerjanya itu.

"Tumben?" suara Aldi berhasil menyadarkan Gino dan langsung menoleh melihat Aldi yang sedang berdiri di sampingnya. "Kau sedang kerasukan apa sampai bisa fokus kayak gini?" tanyanya.

Karena menyadari Aldi sudah berdiri di sampingnya, ia kembali melihat layar monitor. "Kerjaanku banyak, Di, kau sedang apa kemari?"

Melihat tingkah Gino yang tidak seperti biasanya membuat Aldi penasaran. Ditambah lagi, pria itu semalam izin pulang duluan dengan alasan mengantuk. Padahal saat itu masih pukul 8 malam. Tidak seperti biasanya Gino mengantuk di jam-jam segitu.

"Biasanya kau akan mengganggu ku di ruanganku, tumben hari ini tidak? Kau ada masalah?" Aldi memutar memorinya mengingat kesalahan apa yang pernah ia lakukan sehingga membuat Gino bisa berubah secara drastis.

Sebelum menjawab pertanyaan Aldi, Gino mengedarkan pandangannya seperti mencari seseorang. Matanya tidak menangkap satu sosok yang membuat ia kepikiran sejak tadi malam. "Aku tidak ada masalah, kau butuh apa?" tanyanya.

"Tidak ada, aku hanya merasa aneh saja hari ini tidak mendengar suaramu di ruanganku."

"Baru sehari aku tidak ke ruanganmu, kau sudah rindu, gimana nanti kalau aku resign?"

"Kau mau resign?"

"Hh... tidak bodoh, itu pengandaian."

Suasana kantor masih terlihat sama. Anggota Aldi masih dengan kegiatannya masing-masing. Walaupun beberapa di antara mereka masih sering curi-curi pandang memerhatikan apa yang sedang dilakukan oleh pria itu.

"Kau..." Aldi menjeda ucapannya. "Semalam kenapa tiba-tiba izin pulang?" tanyanya kemudian. Ia ingin tau alasan yang jelas dari Gino. Karena, sejak semalam ia kepikiran merasa terlah membuat kesalahan.

Kegiatan ketik-mengetik Gino mendadak terhenti. Ia masih tidak melihat Aldi. Matanya terus menatap monitor. Pikirannya tiba-tiba mengingat percakapan antara dirinya dan Derbi di toilet. Bagaimana kalau aku salah bicara? Apa aku akan dihukum sama Aldi?, dalam benak Gino.

"Kepalaku mendadak pusing, makanya aku izin pulang terlebih dahulu, oh iya, kau sampaikan salamku ke Keyla?" Gino mulai menoleh dan melihat Aldi yang masih setia di posisinya.

Aldi melipat tangannya di dada. Ia menghirup pasokan udara yang tersedia di sana lalu membuangnya secara perlahan. "Kau akan sulit mendapatkannya, Gino."

"Kenapa? Aku bahkan belum mencobanya, kau ragu dengan kemampuanku?"

Aldi menarik ujung bibirnya menampilkan senyuman indahnya. "Bahkan kau tidak mengeluarkan satu katapun semalam," jawab Aldi.

"Tapi, itu karena kalian sedang reunian, hanya aku saja yang dari universitas lain."

Aldi kembali terdiam. Ia seketika mengingat keluarga Keyla yang meamng berantakan. Oleh karena itu, Keyla sangat takut jika harus menjalin dengan siapapun. Ia memiliki trauma yang sama sekali belum bisa ia kendalikan. Bahkan, saat menemui psikiater pun, Keyla masih tidak berani untuk melangkah mengambil keputusan. Ia lebih memilih untuk sendiri dan menikmati dunianya sendiri.

"Usahamu akan sia-sia," ucap Aldi tapi tetap tidak menjelaskan yang sebenarnya. Karena ia sudah berjanji pada Keyla untuk tidak membahas tentang keluarganya kepada siapapun.

"Aku tidak akan menyerah, Di, atau..." Gino memenggal kalimatnya mencoba menerka apa yang terjadi. "Dia sudah punya pacar?" tanyanya.

Pertanyaan itu sukses membuat Aldi tertawa singkat. Dia memasukkan tangannya ke saku celana chinos berwarna hitamnya. "Dia bahwkan tak pernah menjalin hubungan dari kecil, Gino," jawabnya.

hi you!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang