Chapter 2

31 4 0
                                    

Kai's POV

Aku tahu ini sedikit terlambat, diusia 10 tahun aku masuk ke sekolah dasar, dikelas aku adalah murid dengan umur yang paling dewasa, beberapa guru menanyaiku prihal tersebut namun aku tak dapat menjawab nya—lebih tepatnya aku tak mau menjawab pertanyaan itu.

Karena aku yang tertua, Bu guru menjadikan ku sebagai ketua kelas, tak menolak namun juga tak senang akan posisi yang diberikan kepada ku, melihat respon teman-teman yang tak peduli akan posisi ketua kelas mungkin aku tak terlalu keberatan.

Dikelasku ada sekitar 20 murid, yang paling mencolok adalah seorang anak laki-laki yang memiliki postur tubuh tinggi besar dengan suara seperti remaja, sepertinya aku akan menghindari anak itu sebisa mungkin agar tak ikut mencolok.

Aku akan bersekolah seperti anak-anak pada umumnya. Aku ingin berterimakasih pada Ayah untuk itu, tapi ada yang bilang bahwa menyekolahkan ku adalah kewajiban orang tua yang tak perlu diberikan apresiasi lebih, cukup sekolah dengan benar sudah termasuk dalam bentuk terimakasih.

Dihari kesepuluh, Ayah datang untuk melihatku belajar. Lain dari orang tua pada umum nya yang pergi kesekolah pada hari pertama, Ayah bilang bahwa ia tak mau ada dibarisan para wali murid lain, apa ia merasa tak pantas? Ayah berdiri dibalik jendela menatap ku, sedangkan aku hanya diam dan memerhatikan Bu guru yang sedang menjelaskan pelajaran, aku ingin terlibat seperti tak memperdulikan Ayah.

Sekitar satu jam Ayah berdiri memandangiku sampai akhirnya jam istirahat tiba, ketika bel berbunyi semua murid berlari keluar untuk sekedar bermain atau membeli makanan dikantin, berbeda dengan ku—saat jam istirahat biasanya aku memakan bekal buatan Ayah yang terkadang terlalu asin dan kadang juga tak ada rasa garam nya.

Namun hari itu aku hanya diam dan tak memakan bekal ku, karena apa? Karena ada Ayah. Aku tak mau Ayah melihat ku makan bekal buatan nya, entah lah. Akhirnya Ayah pergi dengan raut wajah sedih, saag dirumah ia tak bertanya pada ku mengapa hari ini aku tak memakan bekal nya, dia hanya diam dan memberiku beberapa lembar uang.

"Beli apa yang kamu mau,"

Aku rasa Ayah berpikir bahwa aku tak memakan bekal nya karena aku ingin makan jajanan kantin. Tapi aku tak berkata apapun, aku menerima uang yang Ayah berikan untuk membeli beberapa peremen dan minuman rasa buah.

Hal itu tak membuat Ayah berhenti membuatkan ku bekal sekolah, keesokan harinya aku pergi ke sekolah seperti biasa dengan bekal dan beberapa lembar uang saku. Di jam pelajaran pertama, aku dan murid lain nya pergi ke lapangan untuk melakukan olahraga.

Seluruh murid dimintai untuk ikut senam pagi, guru olahraga kami adalah pria dewasa—aku menelan ludah ku ketika guru itu sibuk berkeliling untuk membenarkan gerakan teman-teman yang lain, pada saat giliran ku aku tersentak dan dahi ku berkeringat ketika guru itu menyentuh punggungku untuk membuat postur tubuhku tegap.

"Jadi cowok yang tegap! Jangan lembek!"

Guru itu menepuk bokongku dengan cukup keras hingga bersuara, semua murid menertawaiku karena kalimat yang guru itu lontarkan, aku dalam sekejap menjadi pusat perhatian. Beberapa detik setelah itu, aku merasakan kaki ku lemas dan pandangan ku perlahan memudar, hal terakhir yang ku rasakan tekstur tanah yang menempel diwajah ku.

Aku terjatuh pingsan.

Hari itu berakhir begitu saja, Ayah yang tak bisa datang menjemput saat itu membuatku harus tertidur diranjang UKS selama 4 jam menunggu Ayah. Setelah Ayah datang pun ia tak menanyakan apapun pada ku, mungkin para guru sudah menjelaskan nya.

Ayah menggendong ku pulang dan memintaku untuk istirahat dikamar, detak jantung ku masih tak beraturan karena trauma yang masih membekas dimasa lalu. Aku tak bisa tidur, aku bangun dari ranjang ku dan berjalan meraih tas diujung ruangan dan merogoh nya.

Makan Malam Bersama AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang