Author's POV
Qian mendatangi kantor polisi untuk melaporkan hal yang telah Kai katakan pada nya, menurut nya hal itu adalah sesuatu yang gila. Sebelum ia datang ke kantor polisi, ia lebih dulu mendatangi kediaman Kai dan Johan, disana ia dengan jelas melihat seorang pria tua yang diyakini adalah tersangka.
Namun Qian adalah orang dewasa yang lebih selalu berpikir kritis, daripada mendatangi langsung ia lebih baik pergi dari sana dan memilih menyerahkan semua nya pada pihak yang berwenang.
Selama perjalanan ke kantor polisi, ia menyetir dengan pikiran yang melalang buana dan dahi yang berkeringat dingin. Bagaimana anak sekecil itu bertahan dengan sesuatu yang menjijikan?
"Selamat pagi."
"Selamat pagi, ada yang bisa kami bantu?"
"Saya mau lapor tindakan kriminal yang dialami orang terdekat saya." Qian mendudukan dirinya dikursi yang berhadapan langsung pada wajah petugas polisi yang ada.
Petugas itu menatap Qian dari atas sampai bawah lalu tersenyum, "Bisa anda jelaskan kronologi nya?"
Berdehem sebentar untuk menenangkan suara nya, Qian menatap si petugas dengan serius dan mulai menjelaskan apa yang Kai katakan pada nya. Diawal Qian mendapatkan respon yang serius, namun ketika ia mengakhiri laporan nya entah mengapa petugas itu menggeleng kecil.
"Jadi, dia lelaki?"
Qian mengerutkan dahi nya, didalam hati ia bertanya 'Mengapa pertanyaan pertama yang keluar adalah masalah gender?'
"Iya, usia nya 17 tahun."
"Pak, saya jelaskan ya - pertama ini bukan laporan yang kuat untuk kami bergerak langsung meringkus terdakwa, kedua adalah kami membutuhkan si korban langsung yang menjelaskan kronologi untuk mempermudah proses, ketiga saya pikir ini bukan hal yang harus disangkut pautkan dengan polisi, anak itu kan lagi dimasa remaja nya, palingan dia lagi penasaran aja."
"Penasaran?" Qian bertanya setelah mendengar penjelasan panjang lebar itu.
"Iya, nggak ada bukti kalau sebenarnya si pria tua lah pelakunya. Mungkin aja anak itu yang memulai pertama sampai ketagihan."
"Maaf?"
"Usia 17 kan puncak nya gairah seksual seorang anak membuncah."
Qian mengeraskan rahang nya menahan diri agar emosi nya tak keluar, "Jadi anda bermaksud untuk menyuruh si korban menjelaskan hal traumatis berulang kali?"
"Traumatis? Apa ada yang salah dengan kepala bapak? Itu cuma menstrubasi, kita semua melakukan nya kan? Bukan nya lubang - "
Sebelum kalimat itu terselesaikan, Qian lebih dulu berdiri dari kurisnya. "Terimakasih."
Melangkah keluar dari bangunan tersebut dengan langkah cepat.
Brak!
Ah, mungkin orang lain akan menangis jika memiliki Mercedes-Benz S-Class yang penyok hanya karena tendangan emosi.
Qian tak langsung menjalankan mobil nya keluar dari area parkiran, ia menatap lekat nama kantor polisi yang beberapa menit lalu sukses menguras emosi nya.
"Hm?" Ia melirik ke arah handphone nya yang terletak dibangku samping yang kini bergetar menandakan ada nya panggilan masuk.
Menekan tombol jawab dan menyalakan fitur bluetooth agar ia bisa melakukan panggilan tanpa harus mengganggu nya mengemudi.
"Halo?" Suara Leah terdengar setelah handphone nya terhubung pada head unit mobil.
"Halo." Jawab Qian sembari menyetir mobil nya membelah jalanan yang ramai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Makan Malam Bersama Ayah
AcakIni bukan tentang makan malam, ini juga bukan tentang apa yang dimakan. Tapi, ini tentang rasa yang belum pernah terungkapkan dan tak bisa diungkapkan antara dua insan yang terhalang oleh ego mereka sendiri. Rasa gengsi, canggung, benci, sayang dan...