Devon diam memandang punggung orang yang berjalan menuntunnya di depan. Menatap heran pada apa yang Arson lakukan, dia tidak mengerti apapun, merasa bingung dengan hatinya.
Bisakan dia percaya pada sosok ini? Itu yang terus Devon pikirkan. Hati dan otaknya saling berlawanan, bimbang harus bagaimana.
Hatinya jelas suka diperlakukan seperti ini. Untuk pertama kalinya, ada orang yang mau berdiri dipihaknya untuk membela dan mendekapnya penuh perlindungan. Namun, disisi lain otaknya tidak bisa menolak fakta bahwa dia dan Arson berdiri di sisi yang berseberangan. Mereka adalah musuh sejak lama. Masih ada sedikit amarah yang ingin dia luapkan sampai tuntas untuk membalas dendam yang dia bawa terhadap kelompok geng yang Arson ikuti.
Arson menghentikan langkahnya di dalam toilet sekolah, diikuti oleh Devon yang berhenti di sampingnya. Dengan matanya yang berkedip polos, Devon memperhatikan Arson yang bergerak melepas atasan seragam putihnya.
"Pake punya gua, nih!" katanya sambil menyodorkan seragamnya pada Devon.
Devon ragu menerimanya. Merasa tidak perlu mendapat perlakukan sampai seperti ini, dia diam berpikir bagaimana cara menyikapinya. Meski seragamnya sekarang sudah mulai kering, tapi tubuhnya masih terasa dingin sejak tadi. Apa tidak masalah kalau Devon menerima seragam itu?
Melihat Devon yang tidak juga bergerak menanggapi pemberiannya, Arson akhirnya buka suara, "Hei... kok diem? Pake aja dulu baju gua, ini!"
Tawaran Arson kali ini mendapat gelengan kaku sebagai balasan. "Enggak..." cicit Devon menolak dengan keraguan. Kepalanya yang semula mendongak menatap Arson, sekarang bergerak menunduk. Lengkungan murung sekilas terlihat pada garis wajah pemuda kecil itu.
"Kenapa enggak? Baju gua gak bau kok, wangi. Kalo emang menurut lo bau nanti bisa disemprot pake parfum, gua bawa kok di tas"
"Gapapa pake baju ini aja," jawab Devon dengan nada pelan.
"Gapapa apanya? Basah gini pasti dingin kan?"
Lagi-lagi gelengan kecil yang Arson dapatkan sebagai balasan. "Nih coba liat, ini bajunya sedikit lagi udah mau kering loh, Arson" jawab Devon sambil sedikit menarik ujung seragam putih yang dia pakai, menunjukannya pada Arson. "Terus juga Devonnya bawa jaket tau. Bisa dipake biar gak dingin"
Arson menghela napasnya. Tambah lagi list sifat Devon yang baru Arson ketahui. Selain kekanakan, ternyata Devon itu juga bebal. Arson akan mencatatnya dalam ingatan.
"Iya nanti bisa pake jaket, tapi bajunya tetep harus diganti. Ini baju lo masih agak basah, takut nanti masuk angin kalo gak ganti" bujuk Arson sirat akan rasa khawatir.
"Emangnya gapapa kalo Devonnya pake baju Arson? Masa Arson cuman pake kaos gini aja sih? Nanti Arsonnya bisa dimarah sama guru yang tadi, loh"
Arson hampir mengembangkan senyumnya ketika mendengar apa yang Devon katakan. Lucu sekali memperhatikan bagaimana cara pemuda itu bicara. Bibirnya mengerucut ke depan dengan matanya yang sedikit melebar gemas. Arson suka melihatnya.
"Gak akan ada yang berani marahin gua" jawab Arson menanggapi.
Devon memiringkan kepalanya, dia berkedip tidak mengerti dengan maksud ucapan Arson. "Kenapa gak berani? Padahal kan Arsonnya gak serem..." tanyanya bergumam dengan dirinya sendiri.
"Masa sih?"
"Iya beneran" Devon mengangguk mantap dengan jawabannya. "Gak keliatan serem sama sekali kok. Emangnya Arson suka gigit-gigit ya makanya semua takut sama Arson?"
Arson akhirnya melepas kekehan yang sudah dia tahan sejak tadi. Tidak sanggup lagi menahan rasa gemasnya pada tingkah Devon ketika sedang bicara. "Udah, yuk buruan ganti bajunya. Sini-sini!" Arson menuntun Devon masuk ke dalam salah satu bilik di dalam kamar mandi itu. "Kalo pas keluar, bajunya belom di ganti juga nanti lo beneran gua gigit" ancam Arson pura-pura menakuti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Innocence [END]
Teen FictionSinister Series : 2 Sebelum membaca cerita ini, disarankan untuk melihat bio di profil lebih dulu!! Devon Abimana, ketua dari geng Alter, bertemu dengan Arson Juliard, yang merupakan anggota geng musuh. Arson yang saat itu tergerak membantu Devon me...