57. RAI

1.1K 138 6
                                    

Tipis senyuman Rai berikan. Menyapa pria yang bertugas memarkirkan Porsche hitam miliknya di valet. Hal serupa ia lakukan kepada pria yang menyambut kemudian mempersilahkan dirinya memasuki gedung. Terhitung tujuh hari sejak kedatangan perdananya di Marshall Properties. Tapak melangkah maju. Gerak tangan beiringan, berlawanan arah bersamaan dengan setiap langkah kaki yang diambil. Membawa diri menuju lift.

"Selamat pagi." ujar pria dengan name tag Sebastian A ramah, liftman yang beroperasi pada lantai dasar.

Rai menanggapi dengan anggukan lalu berkata, "Pagi, Pak."

Gelak tawa pelan terdengar. Kedua mata menyipit. Keriput halus mulai nampak kasat mata. "Aku tahu kalau aku memang tua. Tapi, Anda, young woman, tidak bisakah memanggilku dengan nama saja? Menurut Anda mana yang lebih menawan Seb atau Bas?"

Perkataan Sebastian, pria paruh baya, berhasil mencairkan suasana selagi menunggu lift terbuka. "Seb, terdengar lebih baik. Orang-orang pasti akan mengira kalau Anda adalah pria lajang," kata Rai dengan nada bergurau.

"Oh, please stop, apa Anda tidak tahu kalau aku masih berusia tiga puluh empat?"

Rai berdehem. Mengikuti permainan. "Usia yang sangat matang,"

"Sangat matang untuk bersanding dengan wanita sepertimu, Ms," Sebastian seolah menanyakan nama Rai.

"That was smooth, Seb."

"Apa aku baru saja ditolak?" Sebastian menyentuh dada. Mengisyaratkan kalau dirinya tersakiti atas penolakan yang Rai berikan. "Aku adalah pria tua mengenaskan yang tidak mampu membuat wanita mengenalkan dirinya." tambah Sebastian dengan sandiwara.

"Raissa Sorelli."

"Apa Anda menyetujui kalau aku, Sebastian Arnold, cocok untuk menjadi pendampingmu? What do you say, dinner tonight?"

Rai yang sama sekali tak terganggu malah terhibur dengan gurauan Sebastian, membalas, "I should ask my husband for that." balas Rai berpura-pura.

"How careless of me to think, a beautiful woman like you is single." Sebastian lalu menghentikan skenario sandiwara dan bertanya, "Aku tidak pernah melihatmu, Ms. Sorelli. Are you new?"

"Wait–the play is over?" tanya Rai kepada Sebastian yang membalas dengan sebuah anggukan. "Aku adalah seorang arsitek. Mr. Marshall is my client, well technically, he's my boss's client but I'm here. Aku akan bertemu dengannya untuk melanjutkan pembahasan design yang telah kami rancang."

"Beautiful and smart."

Pintu lift terbuka lebar. Tubuh Rai berseger, memberi ruang kepada beberapa orang untuk keluar sebelum ia masuk. "It's nice talking to you, Seb."

"Tell your husband, I said hi. Have a good one, Raissa."

Lambaian tangan ia berikan bersamaan dengan pintu lift yang semakin lama semakin tertutup. Berdiri di sudut, menjaga jarak dengan penumpang lift lainnya. Bergeleng kecil, mengingat percakapan tidak masuk akal yang ia lakukan.

Tangan kanan terangkat, mendekatkan segelas kertas berisi kopi yang hampir dingin, lalu meneguk secara perlahan. Tak terhitung berapa kali Rai harus berhenti akibat beberapa orang mempunyai tujuan lantai berbeda. Pada lantai enam belas, sepuluh orang memaksa masuk. Mencoba tetap tenang meski semakin terdesak. Apa tidak ada lift lain yang bisa digunakan?

Sesak mulai terasa. Kadar oksigen seakan-akan menipis. Dada berpacu tak beraturan. Pandangan semakin mengabur. Faktanya, Rai memiliki claustrophobia. Keadaan dimana seseorang mempunyai tingkat kecemasan berlebih terhadap ruangan sempit dan tertutup.

Hanya dua lantai lagi, Rai. Bertahanlah!

Pegangan pada sisi lift menguat. Menciptakan warna merah yang berubah menjadi putih pada telapak tangan. Suasana semakin mencekam seiring berjalannya lift menuju lantai yang ia tuju.

"...baik-baik saja..."

"...mendengar suaraku..."

"...lantai yang Anda tuju..."

Samar-samar Rai menangkap pembicaraan. Berasumsi kalau ucapan tersebut diberikan kepadanya karena tak ada satupun yang keluar dari lift. Seolah-olah sedang menunggu seseorang. Dirinya.

Perlahan Rai menegakkan diri, melangkah keluar dari dalam lift. Setiap langkah terasa berat. Tidak sadar kalau langkah yang ia ambil tak beraturan bahkan hingga menabrak beberapa orang setelah berada pada lantai delapan belas. Labirin yang dilalui terasa begitu panjang. Tidak ada habisnya. Sering kali berhenti, berharap kalau ia mampu mencapai ruangan. Namun sayangnya tubuhnya menolak. Tepat sepersekian detik sebelum kehilangan kesadaran dan membiarkan tubuhnya terjatuh, seseorang menahannya.

"Adrian,"

Ya, wangi pria itu tertanam jelas di indra penciuman.

"I got you."

Eternally Yours | Chérie #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang