60. ADRIAN

1.3K 142 11
                                    

Satu jam lima belas menit adalah jumlah waktu yang terkuras bagi Adrian untuk menyelesaikan wawancara bersama Jonathan Burgos dan Iain Martin selaku senior jurnalis dan editor Forbes–perusahaan media secara global yang berfokus pada bisnis, investasi, teknologi, kewirausahaan, kepemimpinan, dan lifestyle.

Diawali dengan percakapan ringan. Mulai dari ucapan selamat karena Adrian Marshall masuk ke dalam tiga puluh daftar teratas orang terkaya. Menduduki posisi ke dua puluh enam, termasuk pencapaian yang luar biasa di usianya yang termasuk muda, dengan kekayaan melimpah.

"Congratulations, Mr. Marshall. Twenty six among hundreds. How do you feel about that?"

"Surreal. You know my father is way up there. Currently positioning himself at six. I think you guys should arrange a meeting with him instead." jawab Adrian ringan. Mencairkan suasana.

Jonathan dan Iain tertawa kecil mendengar balasan Adrian. "Does Arthur give you any advice in managing Marshall Properties?"

"No, he doesn't. Once he gave me Marshall Properties, which was two years ago, he never even once had a finger in the pie. Arthur terlalu sibuk mengurus Marshall Company, aku rasa Papa sama sekali tidak memiliki waktu untuk sekedar memberikan saran. He trusts me, I guess."

"Tapi kenapa Marshall Properties? Kita tahu kalau Marshall Company mempunyai delapan anak perusahaan lainnya. Arthur is sixty years old. You could've asked him to let you replace him."

"First of all, perlu kalian ketahui kalau aku tidak pernah meminta apapun. Menjadi CEO(1) Marshall Properties adalah penawaran yang Papa sendiri berikan. He wants me to start from zero. Sepertinya itu adalah alasan utama Papa memintaku untuk memimpin Marshall Properties. Dua tahun silam, Marshall Properties mengalami banyak masalah. He wants to see if I can survive. He treats me nothing like his son–meaning–ia menyamakanku dengan seluruh orang yang bekerja dengannya. Aku bahkan mengisi admission dan apply untuk bekerja di perusahaan Papa setelah menjadi MBA(2) Harvard."

"Wow. No one knows about that," Terdapat jeda sejenak, Jonathan membaca notenya, sebelum kembali bertanya, "Let's take a step back into your college life. Before Harvard, you went to Cornell University? Why Cornell?"

"I had no option. All I wanted was to be a Harvard student at that time. Sampai sekarang aku masih tidak tahu alasan mengapa Harvard tidak menawarkan program sarjana untuk sekolah bisnisnya. I don't get why almost all Ivy Leagues don't offer undergraduate programs for business. Why Cornell? Because it's in New York. Marshall Company is in New York. I got to visit Papa sometimes."

"Interesting. How was your life back then?"

"Just a normal guy trying to finish their study as soon as possible. Same goes in Harvard."

"I heard that you still play lacrosse. How do you manage your time, considering all the constant workload that you have?"

"Well, you should ask Brandon, my assistant, about that. He manages all my schedules. And lacrosse is my life. I will certainly play as long as I can."

Percakapan kemudian berlanjut dengan membahas proyek-proyek Marshall Properties kedepan. "Anda sedang membangun sebuah hotel dengan aksen italia di pusat kota. Tell us a little bit about that."

"Sure. Seminggu yang lalu aku melakukan video konferensi membahas masalah properti yang akan didistribusikan untuk hotel. It should arrive by this week. Sejauh ini, masih tersisa lima puluh dua persen agar bagunan jadi. Kita berencana untuk membuat hotel senyaman dan semewah mungkin. Kita memiliki lima puluh lantai dengan sepuluh kamar di setiap lantai. Terinspirasi dari Atlantis The Royal Dubai, namun bedanya adalah kami menggunakan tema italian."

"Apa Anda telah memikirkan nama untuk hotel tersebut?"

"Conux, Comfort and Luxurious Hotel."

"Do you have any other projects?"

"No." Untuk saat ini biarlah proyek stadium menjadi sebuah rahasia. Akan Adrian umumkan pada awak media saat mulai dibangun. Untuk menghindari hambatan-hambatan yang kemungkinan besar akan timbul jika mengumumkan terlalu dini.

"Last question, do you have any advice for young pals out there who want to start a business?"

"Papa selalu mengatakan, climbing to the top is easy but to maintain it is difficult. Untuk bisa bertahan, kita harus melewati segala proses. Maka dari itu, nikmati segala prosesnya, each ups and downs, pasti ada hal baik yang dapat kita pelajari dari setiap kondisi."

"Well said, Sir."

Jonathan dan Iain bangkit untuk pergi karena wawancara telah usai.

"Thankyou for your time, Mr. Marshall."

"We appreciate it."

Adrian menanggapi dengan sebuah anggukan. Langkah kaki kini mengayun. Menghantar diri pada sebuah ruangan. Menemui beberapa karyawan yang menjadi penyebab dirinya hampir mati ketakutan.

Seluruh karyawan bangkit setelah Adrian masuk ke dalam ruangan. Hawa mencekam seketika hadir. Aura mendominasi tak dapat dipungkiri membuat semua orang menundukkan kepala. Takut. Tidak berani melihat raut wajah atasannya.

Rahang mengetat. Menelisik satu-persatu karyawan. Nyalang. Bagai percikan api yang siap menyembur. Membakar hingga menjadi abu. Tak ingin emosi menguasai, ia cepat-cepat berkata, "Dua puluh delapan lift adalah jumlah yang cukup untuk mengoperasikan perusahaan. I'm aware that you guys have a lot of work. Tapi dengan alasan tersebut, tidak mampu membenarkan apa yang terjadi pagi tadi. Lift memiliki ketentuan kapasitas yakni maksimal tujuh hingga delapan orang. Tidak sulit untuk menggunakan lift lainnya, bukan? Mungkin tidak ada satupun dari kalian yang menyadari kalau seseorang pingsan hanya karena ketidakpedulian kalian. Being aware of your surroundings and the consequences of your actions is equally important as finishing your job. I have Brandon to install more elevators, I shall not see that happen again," Menakjubkan. Nada suara yang tenang berhasil Adrian berikan seraya berbicara.

"Do you understand?"

"Yes–yes, Sir."

"Good, then your existence is no longer needed in this room."

Bersamaan dengan karyawan yang sedang bergantian meninggalkan ruangan, Brandon datang, menghampiri Adrian.

"Pemasangan lift sudah mulai dilakukan. Closing deal terkait dengan sewa penthouse juga telah beres. Anda tidak memiliki jadwal lain untuk hari ini, Sir."

Dua iris mata memperhatikan Brandon. Menangkap sesuatu yang aneh. "What is it in your hands, Brad?" tanya Adrian dengan alis bertaut.

Brandon bergumam. Tak tahu bagaimana harus memulai. "Ini–ini," balasnya terbata-bata. Menaruh kotak di atas meja, dekat atasannya, lantas berucap, "Your lunch, Sir."

Kedua mata Adrian menyipit. "I didn't order anything."

"Yes, you didn't. But Ms. Sorelli did."

"She did what?"

Terperangah akan ucapan Brandon. Adrian bungkam. Enigma seolah-olah menarik untuk dimainkan. Menerka-nerka jawaban tanpa petunjuk. Terperangkap dalam berbagai kemungkinan. Terganggu. Semakin larut dalam pikiran, semakin tak mendasar alasan yang bersarang di benaknya.

"What did she say?"

"She said she'll be back. To sign the contract."

"Find out her bank account number, Brad."

"Pardon, Sir?"

"You're not deaf, aren't you?" balas Adrian sinis.

"Meminta nomor rekening pribadi Ms. Sorelli terdengar sangat tidak masuk akal, Sir."

"Apa aku sedang meminta pendapatmu, Brad?" tanya Adrian galak.

"Ti–tidak, Sir."

"Now get out and do as you're told." 

–––

CEO(1) : Chief Executive Officer

MBA(2) : Master of Business Administration 

Eternally Yours | Chérie #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang