72. ADRIAN

1.6K 137 15
                                    

Pavilions merupakan supermarket besar dan mewah. Cukup terkenal karena menyajikan berbagai pilihan makanan organik seperti daging dan susu. Bermacam jenis anggur premium. Serta beraneka kue, deli, bahkan hingga bunga juga tersedia. Ramai dikunjungi bermacam kalangan. Untuk me-restock barang kebutuhan. Seperti Adrian dan Rai yang tengah sibuk mengelilingi swalayan.

Troli belanja didorong, mengikuti Rai yang sedang memikirkan daging mana yang akan dimasukkan ke dalam troli. Tak ada dari mereka yang membuka suara setelah kejadian beberapa menit yang lalu. Atau lebih tepatnya, sesudah Rai melarikan diri.

Netra gelap Adrian menilik Rai lekat. Dari atas kepala hingga ujung kaki. Rambut coklat panjang yang awalnya tergerai, dicepol asal, menyebabkan anak-anak rambut sedikit terbebas. Bibir merah delima membengkak dan leher jenjang dipenuhi beberapa bekas merah keunguan membuat Adrian menyeringai, bangga. Mengingat hasil perbuatannya. Bahkan sampai menarik atensi beberapa pengunjung yang mencuri-curi pandang. Menyaksikan hal tersebut Adrian memilih bungkam. Tak memberi peringatan kepada Rai. Baginya, bekas-bekas tersebut adalah sebuah karya yang layak diperlihatkan sebagai tanda kepemilikannya.

Iris Adrian perlahan bergerak turun. Memandangi gaun mini berwarna putih, tanpa lengan, yang hanya menutupi setengah kaki jenjang sang empu. Untung, dibalut jas oversized milik Ralph Lauren yang melindungi tubuh bagian atasnya. Seketika rahang mengetat, menampakkan tulang pipi tinggi sekaligus garis rahang yang tegas. Pandangan Adrian berlabuh pada paha mulus yang mengapit sesuatu berharga di tengah. Sial. Sekelebat memori merambat pesat memenuhi seluruh ruang di kepala. Mengingatnya, membuat sesuatu yang kembali mengeras. Mendeklarasikan kehausan tidak tertahan.

Down, boy. It's not the time, yet.

Aroma khas vanilla dan amber menguar. Menarik Adrian semakin dalam ke ruang kegilaan. Setiap tarikan napas, membuatnya kian tenggelam dalam melodi harum yang menari-nari ditiup angin. Kelopak mata terpejam, membiarkan diri menikmati sapuan halus yang mengisi indra penciuman. Hingga terinterupsi oleh sebuah pertanyaan.

"Kamu malam ini mau masak apa?" Rai bertanya. "I've got bacon, salmon, and chicken breast already." tambah Rai.

Tidak mendapat respon, Rai kembali membuka suara, "Adrian,"

Buru-buru menampik pikiran, Adrian menjawab, "Ya–ya?"

"Aku tadi tanya. Kamu mau masak apa hari ini? Bacon, salmon, and chicken breast are in the shopping cart already. Apa cukup? Atau kamu ingin daging sapi?"

"Is that beef ribeye?" tanya Adrian menatap tiga potong daging dalam kemasan yang berada di tangan kanan Rai.

Rai berdehem, mengiyakan. "Get that one, then." perintah Adrian.

"We're having a steak for tonight, Chef?"

Adrian tidak membalas. Melainkan memajukan langkah, berdiri tepat di belakang Rai untuk menutupi gaun yang tertarik ke atas akibat jinjitan untuk meraih daging di dalam wadah pendingin. Hal tersebut otomatis mengejutkan Rai yang baru saja membalikkan diri, berhadapan dengan Adrian.

"Adrian? What are you doing?"

"I don't want anyone to see what's mine, Blue."

"Maksud kamu?" Rai dengan alis bertaut.

"This dress is too short, Blue."

"Kai memaksa agar aku mengganti pakaian dengan gaun ini ketika ia tahu kita akan makan malam." balas Rai jujur.

"Well, I blame Kaiana for choosing and forcing you to wear this dress, then."

"Karena kamu tidak suka?"

"No, it is a beautiful dress. Apalagi kamu adalah wanita yang menggunakannya. I hate it because it's making you uncomfortable, Baby. Aku memperhatikan kamu yang selalu berusaha menurunkan gaunnya. Kamu bahkan sengaja tidak mengancingkan jas supaya bagian belakangnya lebih panjang."

"Kamu–kamu sepertinya butuh beef filet mignon," Rai menghindari Adrian sehabis mendengar perkataan barusan. Cepat-cepat membalikkan diri, mengambil daging yang dimaksud. Sebab debaran jantungnya kian cepat dan pikirannya tidak berfungsi dengan baik untuk memilih balasan yang tepat.

"They only have the tenderloin, not the sirloin," Tubuh Rai terperangah. Bibir membentuk o. Kedua mata memelotot. Ketika tidak sengaja menabrak tubuh bagian bawah Adrian yang keras.

"You–you're hard," Kalimat itu terucap begitu saja. Begitu polos. Membuat Adrian mati-matian menahan godaan.

"We're in Pavilions, Adrian," kata Rai memperingatkan saat Adrian mengikis jarak yang membentang di antara keduanya.

Deru napas mint beradu. Bersamaan dengan percikan api yang semakin meletup-letup. "You see, Baby. The thing is, I'm hard for you. Even worse, just by looking at you, the thing down there demands more. Now, get that beef tenderloin filet mignon steak and run away before I–"

Adrian terkekeh melihat aksi Rai yang mengikuti ucapannya. Hembusan napas terdengar sebelum Adrian kembali membuntuti Rai selama berbelanja.

Satu jam tiga puluh menit kemudian. Dengan dua kantong belanja di genggaman, Adrian menoleh ke kanan, memandangi Rai ketika berada dalam lift untuk menuju lantai apartemennya. Dua netra menggelap, menatap lekat pada bibir ranum yang begitu memprovokasi. Cengkraman di kedua kantong belanjaannya, mengerat, seolah-olah sedang menyalurkan pertahanan diri.

Tak lama, hancur sudah benteng yang susah payah dijaga, berkat Rai yang secara tidak sadar sedang menggigit bibir bagian bawahnya.

"Don't bite that lip, Blue."

Bukan jawaban melainkan tatapan yang disuguhkan Rai membuat kantong belanjaan terlepas dari genggaman. Netra biru sayu, membelo, tak lepas dari pandangan, sembari berkata, "Fuck, Baby. I can't hold it anymore."

Di antara detak jantung yang beradu, tarikan magnet mendekatkan keduanya. Dunia mengabur, hanya menyisakan gaya gravitasi yang mengelilingi. Lantas, sapuan bibir kembali terasa. Berawal lembut hingga berubah menuntut. Mengartikulasikan emosi yang sulit terucap. Tangan kanan Adrian terangkat, mengunci kedua pergelangan tangan Rai tanpa melepas pagutan. Lidah saling membelit membentuk tarian. Menyalurkan segala rasa. Sebuah simfoni sensasi, eksplorasi sensual yang terungkap di setiap detik. Suara decap bibir turut mengalun. Menggelorakan keintiman.

Waktu seakan berhenti, menyaksikan kedua insan yang sedang berkelindan. Sampai pintu lift terbuka dan seseorang berdiri di sana. Terpaku.

"Adri."

Ucapan tersebut jelas menginterupsi baik Adrian maupun Rai. Tautan bibir seketika terlepas. Napas terengah-engah keduanya jelas terdengar. Tubuh besar dan tinggi Adrian inisiatif digunakan untuk menutupi Rai yang terlihat sangat berantakan. Kemudian menatap lurus, memandangi ibunya yang terkejut.

"Mama?"

Eternally Yours | Chérie #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang