61. RAI

1.1K 146 12
                                    

From : adrian@mproperties.com

To : contact.raisorelli@gensler.com

Subject : Lunch Payment

I have transferred the amount of money for your unexpected concern into your personal account. Mind you, the amount doesn't include the payment for being my architect. Also, what you have done is utterly unnecessary. Please ensure such occurrences do not repeat in the future.

Regards,

Adrian Theodore Marshall

Chief Executive Officer, Marshall Properties

Dua retina Rai membelalak. Mengerjapkan mata sekali, dua kali. Setiap rangkaian kata terasa rumit dimengerti. Memutuskan untuk kembali membaca. Iris mata bergerak, ke kiri lalu ke kanan. Ke bawah dan ke atas. Mencoba memahami maksud surel.

Butuh enam kali sampai akhirnya Rai mengerti. Buru-buru meraih ponsel untuk membuka sebuah aplikasi. Mengecek mutasi pada rekening. Kembali kedua matanya memelotot. Semakin lebar sampai terasa ingin keluar dari kelopak mata.

Sepuluh ribu dolar. Setara seratus lima puluh enam juta rupiah. Adalah nominal yang diterima. Jumlah yang sangat besar diberikan oleh Adrian untuk membayar makan siangnya–atau lebih tepatnya kepedulian tak terduga. Dan berdasarkan email tersebut, pria itu jelas-jelas mengingatkannya agar tidak mengulangi hal tersebut.

Setelah mampu mengumpulkan kesadaran, hal pertama yang terbesit dalam benak adalah mengembalikan uang tersebut. Akan tetapi, Rai tidak mengetahui nomor rekening sang pengirim. Kemudian, tangannya bergerak di atas touchpad macbook, mengarahkan kursor, pada sebuah tombol untuk membalas email. Jari-jemari lantas menari dengan lihai, mengetik balasan, sampai ia teringat sesuatu. Sama seperti dirinya, Adrian merupakan pria keras kepala. Mustahil kalau pria itu akan menanggapi sesuai dengan yang diharapkan.

Tanpa pikir panjang, Rai bangkit, melangkah, meninggalkan ruangan. Tujuannya satu. Menemui Adrian. Sekaligus menandatangani kontrak yang Sandra janjikan pukul empat. Sedangkan saat ini waktu masih menunjukkan pukul dua tiga puluh.

Berjalan melewati lobi, menuju basement, mencari Porsche miliknya. Lalu menekan tombol pada kunci agar bisa masuk ke dalam. Melajukan mobil perlahan, sebelum menancap gas lebih dalam. Mempercepat laju, membelah jalanan.

Tiga puluh menit kemudian, telunjuk ramping nan lentik memencet tombol supaya lift di hadapannya terbuka. Lift pribadi yang hanya digunakan oleh Adrian. Menarik banyak perhatian. Bisikan maupun tatapan dilayangkan ke arahnya. Tak menggubris Rai bergegas memasuki lift. Sembari menunggu, Christian Louboutin ia hentak kecil dengan tempo beraturan. Perasaannya kian tak menentu. Seolah sedang tersesat, tanpa arah.

Helaan napas terdengar ketika sampai pada lantai tujuan. Berjalan pasti, melalui beberapa labirin. Selanjutnya melewati kubikel yang dipenuhi karyawan. Sampai akhirnya, kedua kaki Rai berhenti melangkah karena kini Brandon menatapnya dengan terkejut.

"You're early. Sandra mengatakan kalau Anda akan menandatangani kontrak pukul empat." kata Brandon yang berada tepat di hadapannya.

Rai menghiraukan ucapan Brandon dan bertanya, "Is he in his office?"

Brandon tidak menanggapi. Membuat Rai mengulang pertanyaannya. "Brandon, apa Pak Marshall ada di ruangannya?"

"He is. Akan tetapi–"

Tanpa mendengar Brandon menyelesai kalimatnya, Rai kembali melangkah. Membawa diri pada ruangan Adrian. "Get out of the way, Brandon." ucap Rai karena Brandon berusaha menghalanginya.

"...beliau akan sangat marah.."

"...cukup pagi tadi aku melihat Pak Marshall marah..."

Tidak mengindahkan perkataan Brandon, tangan kanan Rai mendorong pintu dan memasuki ruangan. Berusaha tenang meski detak jantung berdebar dua kali lebih cepat. Pemandangan Adrian yang sedang disibukkan oleh tumpukan berkas terpampang jelas. Pria itu seperti tidak menyadari keadaan sekitar sampai Brandon membuka suara.

"Sorry, Sir, aku sudah mengatakan kalau Ms. Sorelli harusnya datang pukul empat. Aku telah berusaha menghentikannya," Brandon tahu betul atasannya akan mencaci maki atas ketidakmampuannya untuk melaksanakan perintah kalau tidak ada yang boleh memasuki ruangan tanpa membuat janji terlebih dahulu.

Napas Rai tercekat. Dua iris gelap milik Adrian menatapnya. Lekat. "Leave us." ujar Adrian kepada Brandon. Tidak lama sampai Brandon meninggalkan ruangan, atensi Adrian beralih kepada Rai, "To what do I owe you for this unexpected meeting?"

Udara mulai menipis. Detak jantung Rai bermarathon. Kini hanya ada dirinya dan Adrian di dalam ruangan. Berupaya tak terlihat gugup, ditarik napas dalam-dalam, sebelum berkata, "Ten thousand dollars for a meal is exaggeration, no? Aku datang kemari untuk mengembalikan uang Anda, Sir."

"I heard you quit."

"We're not talking about my resignation, Sir."

"Why?"Adrian tetap menghiraukan Rai dan tetap bertanya.

"Adrian Theodore Marshall, please send me your personal account number. I'll send your money right away."

"Is it because of my offer?"

Habis sudah kesabaran Rai karena Adrian terus-menerus mengalihkan arah pembicaraan. Entah darimana datangnya keberanian yang membawa dirinya untuk mendekat. "Kenapa Anda membuat semua ini rumit? Just give me your bank account number, Sir."

Adrian bangkit dari tempat duduknya. Menghampiri Rai yang berjarak cukup dekat. "You started this, Ms. Sorelli. Membawakanku makan siang adalah hal yang tidak masuk akal, bukan begitu?"

Mengantisipasi diri, mengambil langkah mundur karena berada dekat dengan Adrian membuat Rai tak mampu berpikir jernih. Aroma khas pria itu menguar. Menghantarkan sengatan listrik. Sungguh berbahaya.

"Sepuluh ribu dolar untuk fettuccine alfredo merupakan jumlah yang juga tidak masuk akal, Sir." balas Rai setelah mampu mengendalikan diri.

"Well, I have no time to think how much fettuccine alfredo costs."

"Apa Anda tidak pernah melihat nominal harga setiap memesan makanan?"

"I don't see the reason why I should do that."

Rai memutar bola matanya malas. Typical. Rich people. "Fine. Just let me give your money back."

"In one condition,"

Rai tidak menanggapi dan membiarkan Adrian melanjutkan perkataan. "Tell me why. Kenapa Anda memberikanku makan siang, Ms. Sorelli?"

"A–aku," Otak Rai buntu. Tidak ada satupun yang terlintas untuk dijadikan sebagai alasan. Karena faktanya, ia sendiri tidak tahu alasan dibalik sikapnya.

Terbata-bata, Rai kembali berucap, "A–aku,"

"Cat got your tongue, Ms. Sorelli? It's just a simple question. I believe every act has its own reason,"

Pria itu kian mendekat. Membuat Rai melangkah mundur hingga punggungnya membentur dinding. Sayang, dirinya terperangkap. Napas keduanya beradu. Begitu dekat membuat Rai menggigit bibir bawahnya gugup. Mencuri pandang pada bibir milik Adrian yang kembali terbuka, ingin mengeluarkan suara.

"Now, I'm asking you. What was your reason? Aku akan memberi tahu nomor–"

Belum sempat kalimat itu terselesaikan, Rai lebih dulu berjinjit, membungkam bibir Adrian dengan bibirnya. 

Eternally Yours | Chérie #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang