66. ADRIAN

1.4K 167 12
                                    

"Bagaimana?"

Sebuah pertanyaan yang terlontar setelah Adrian memberi sepiring pasta carbonara kepada Rai. Butuh tiga puluh menit supaya hidangan tersaji. Menggunakan kemampuan yang diperoleh semasa kuliah, mengharuskan Adrian hidup mandiri, termasuk memasak pasta carbonara andalannya.

Netra gelap Adrian tak teralih. Menilik tiap gerakan Rai. Garpu di tangan kanan, digunakan untuk menyendok. Bergerak, berputar. Melilitkan pasta hingga menutupi bagian depan garpu. Lantas menyuapi diri. Tatapan Adrian masih sama, menunggu. Was-was akan komentar yang akan diberikan.

Gumaman terdengar setelah Rai selesai mengunyah sendokkan pertamanya, "I'm surprised,"

Adrian yang awalnya bersandar dengan dua tangan terlipat di depan dada, berjalan, mendekati Rai yang duduk di meja kitchen island. Menggeleng, mengingat ulah wanita itu yang memaksa untuk membantu. Mau tidak mau, satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk mengabulkan permintaan Rai tanpa menyakiti pergelangan kaki wanita itu adalah mendudukannya di atas meja kitchen island.

"I'm surprised? It doesn't answer my question, Raissa." Adrian menjawab. Lagi-lagi menunggu sampai Rai menyelesaikan kunyahan.

Rai mendongak. Memperlihatkan kedua iris biru yang menghanyutkan lantas membalas, "You could easily beat Gordon Ramsay, Sir." Faktanya pasta carbonara buatan Adrian adalah pasta terlezat yang pernah ia coba.

Adrian berdehem. "Is that so?" Pertanyaan yang diucapkan sebenarnya hanya sebuah retorika.

Sembari mengunyah entah suapan keberapa, Rai menanggapi, "Kamu tidak percaya? Ini coba saja sendiri,"

Kedua lengan Adrian berada di kedua sisi Rai. Menerangkap. Tak mengindahkan Rai yang menyodorkan piring dan garpu kepadanya. Menanti sampai Rai menelan carbonaranya. Kemudian mengagetkan wanita itu dengan mencium bibir ranumnya tiba-tiba. Mencicipi sisa-sisa rasa.

Gagap Rai berkata, "A–apa yang kamu la–lakukan?"

"Tasting my carbonara." balas Adrian enteng.

"With my lips?" tanya Rai dengan retina yang membulat. Tidak percaya.

"I let you taste my aftershave. Why can't you do the same? Afterall, it's my carbonara."

Jawaban Adrian membuat bibir Rai mengerucut, kesal. "Apa kamu tidak lapar?" tanya Rai sambil kembali menyantap carbonara.

Oh, aku sangat lapar, balas Adrian. Dalam hati.

Pandangan Adrian bertumpu pada satu objek. Lekat. Berselimut gairah. Mati-matian ditahan. Nalar terus-menerus memberi peringatan. Beruntung, dipatuhi. Hanya dengan sebuah ciuman. Pertahanan diri perlahan runtuh. Sama seperti lima belas tahun yang lalu. Seolah-olah berhasil menghapus kenyataan kalau Rai dulu meninggalkannya. Tanpa alasan. Hilang. Bagai butiran debu yang diterpa angin.

Bertahun-tahun Adrian menunggu jawaban yang terkubur dalam. Dan sekarang Rai datang, dengan mudahnya mengobrak-abrik proteksi diri. Menciptakan kebimbangan. Haruskah dibiarkan atau dilawan. Namun satu yang Adrian tahu, ia membutuhkan sebuah penjelasan.

"Earth to, Adri–Sir. Kamu tidak menjawab pertanyaanku."

Perkataan tersebut berhasil membuyarkan pikiran. "Ya, aku sangat lapar."

"Then, eat." Rai kemudian melayangkan pandang pada sepiring carbonara yang belum tersentuh sama sekali. "Kamu membuat–"

Adrian kembali membungkam Rai dengan bibirnya. Merasakan bibir cerah, segar, dan menggoda bercampur dengan creamy sauce carbonara. Kini bukan hanya kecupan, melainkan cumbuan yang menuntut. Menggigit bibir bagian bawah agar terbuka. Menerobos, memasukkan lidah. Mengulum, menyesap, hingga menciptakan sebuah erangan. Setiap sentuhan, mengalirkan arus kuat. Sulit diberhentikan.

Ketika keduanya mulai sulit bernapas, Rai lebih dulu menarik diri. "Kamu tidak akan kenyang dengan mencicipi carbonara dari bibirku," Lantas memajukan garpu berbelit carbonara di depan bibir Adrian, "Ini."

Tanpa melepas pandang, Adrian melahap carbonara yang diberikan. "Don't bite those lips unless you want me to kiss you again, Raissa. Walau aku akan dengan senang hati melakukannya." Adrian memperingatkan.

Tak merespon, Rai kembali menyuapi Adrian. "Aku tidak tahu kalau kamu pandai memasak."

"Aku belajar memasak selama kuliah."

"Sebagai seorang siswa harvard yang disibukkan dengan berbagai tugas, I'm amaze. Kamu memiliki keinginan untuk belajar memasak. Padahal kan kamu bisa membayar chef pribadi, Sir."

"I went to Cornell before Harvard,"

Kilat keterkejutan tertangkap oleh Adrian. Meski begitu cepat karena buru-buru Rai tutupi. "Bagaimana dengan kamu? Where did you go?" Adrian sengaja memanfaatkan kebungkaman Rai untuk menanyakan sesuatu, ingin mengenal wanita itu secara bertahap. Tak ingin memberi kesan memaksa.

"NUS(1) lalu MIT(2)." Rai menanggapi.

Singapura. Jauh sekali.

Adrian begitu hati-hati, memikirkan pertanyaan selanjutnya. "And working in Los Angeles. I see you like to move around."

"I'll be in New York soon."

"Is that why you quit?"

Rai mengangguk. "Bekerja di Gensler adalah sebuah keberuntungan. They only accept the best from the best. Tapi kalau aku tetap meneruskan, mimpi yang lama aku abaikan akan hilang dan aku tidak menyukainya. It's time for me to work on my real dream."

"What is your real dream?"

"Building my own company."

Adrian tidak terkejut akan balasan Rai. "I assume it's gonna be in New York."

Setelah mengiyakan pernyataan Adrian, Rai bertanya, "Bagaimana dengan kamu? Menjadi CEO Marshall Properties cukup? Apa itu mimpi kamu?"

"The stadium is my dream. Aku memiliki keinginan untuk membuat tim lacrosse. Aku mau lacrosse dikenal di semua kalangan masyarakat. Sama seperti tenis, basketball dan baseball. Lacrosse juga layak untuk diberi perhatian. The stadium will provide the team that I'm building to exercise or compete. And you happen to be the one who help my dream come true."

"Funny, we're actually using each other. Proyek stadion adalah proyek pertamaku. Mengatasnamakan Raissa Sorelli. Tanpa embel-embel Gensler. Aku bisa menggunakan kepopularitasan Marshall Properties untuk menarik perhatian orang-orang pada perusahaan baruku. You'll get your stadium, I'll get my clients. It's a win win,"

Seulas seringai tipis terbit. Menghiasi wajah Adrian. Kagum. "Indeed."

Tepat saat itu pasta di piring telah habis. "Let me help you with the dishes." kata Rai yang kebetulan berada dekat dengan kitchen sink.

"I'll grab something to drink."

Baru selangkah, Rai berhasil menghentikan Adrian. "Ad–"

Membalikkan badan lalu memotong ucapan, "We've shared each other's dreams already. You can start calling me by my first name, Raissa." kata Adrian kepada Rai yang ragu-ragu memanggilnya dengan nama depan.

"Adrian, lock apartemen kamu, kosong lima enam belas,"

Adrian yang langsung mengerti arah pembicaraan merespons, "Ya. Enam belas Mei. Ulang tahun kamu."

–––

NUS(1) : National University of Singapore

MIT(2) : Massachusetts Institute of Technology


***

Makasi teman-teman atas supportnya

Tetep dukung terus ya, means a lot

Love, s

Eternally Yours | Chérie #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang