Bab 19

223 29 15
                                    

Haiii 🙌

_____

Memang dasarnya keras kepala, keesokannya Nadine malah tetap masuk ke sekolah. Ada misi yang harus dia jalani- merekrut anggota Maraton. Itu misi penting. Toh dia sudah merasa sehat.

Merasa dejavu, murid-murid terus berbisik-bisik sambil melirik ke arahnya. Sekarang entah untuk dia yang kemarin pingsan, julukan pengganggu atau sebagai pembunuh. Terlalu banyak hal dan julukan yang melekat didirinya. Tapi, saat ini dia merasa tidak nyaman bukan karena bisikan mereka melainkan karena seseorang yang mengikutinya di belakang.

Bukan halusinasi, Nadine merasa Lokus sedikit- ralat, sangat pendiam. Biasanya jika mereka bertemu hanya akan ada konfrontasi agresif. Tapi, dari kemarin lelaki itu sangat tenang. Bahkan saat Nadine pulang dari Sunflower Happiness, gadis itu sudah disambut Lokus yang langsung berdiri dari duduknya di ruang tengah, seakan-akan memang sedang menunggunya. Dan yang paling aneh, untuk beberapa saat Lokus menghalanginya untuk pergi ke kamar, memanggilnya lalu melihatnya intens dari ujung ke ujung.

Aman, itu katanya setelah menghalanginya berpuluh-puluh detik lalu pergi begitu saja meninggalkan Nadine yang mengernyit tolol. Dia sangat tak memahaminya.

"Jangan ngikutin gue, orang asing," lontarnya setelah berbalik badan. Kata orang asing diucap penuh penekanan.

"Gue mau ke kelas," responnya.

Nadine agak menyamping, mempersilahkan jalan. "Silahkan lebih dulu. Gue gak mau orang-orang berpikir kalo kita berangkat bareng."

Nadine berpikir lelaki itu akan mulai membalasanya pedas. Tapi, kini dia malah mengeluarkan susu kotak dari saku jaketnya lalu memberikan paksa kepadanya.

"Hey!" Nadine mengejarnya. Bukannya mereka hanya orang asing? Lelaki itu yang sering menekankan hubungan adik-kakak yang sudah terhapus.

Nadine menarik paksa tas gendongnya sekuat tenaga.

"Lotus!" sungut Lokus yang hampir saja terjungkal ke belakang. "Sialan!"

Nadine tersenyum miring. "Akhirnya muncul juga aslinya."

"Ngapain lo ngasih susuk kotak ini? Pisang lagi, gue gak suka rasa itu! Kasih aja nih ke kesayangan lo!"

Lokus mengeryit, tak paham.

"Pura-pura bodoh lagi. Noh si Ritz. Gue udah tahu kok lo berantem sama Trenz gara-gara dia, kan? Tapi gue yang kena apes pelampiasan kemarahan lo."

"Dapat informasi dari siapa lo?"

"Yang jelas bukan dari tuyul!" sungutnya.

Lokus berdecak. "Pokoknya minum susu ini! Gak gue kasih racun! "

"Lokus!" panggil seseorang.

"Noh muncul, kasih aja ke dia. Dadah... orang asing." Buru-buru dia pergi sebelum Ritz sampai. Apalagi, dibelakangnya ada Trenz. Ugh.....

Tapi, kalo dipikir-pikir lagi apa Lokus termasuk salah satu pemeran penting di novel? Karena dia terlihat sering berinteraksi dengan mereka, sebagai second male lead, mungkin.

Nadine menggeleng, itu bukan urusannya. "Ayo Nadine! Lo pasti bisa kayak si Malika yang bisa nyari anggota band-nya. Semangat mencari anggota Maraton!"

Lokus menghela nafas, melihat kembarannya yang berjalan rusuh, menjauh. Ada kekesalan yang menggumpal di hatinya karena penolakan atas pemberiannya, padahal dia mempertaruhkan harga diri dan egonya. Rasanya canggung untuk sedikit bersikap baik, dia tak tahu. Pokoknya, ini terakhir kalinya dia bertindak absurd.

TRANSMIGRASI? NOVEL? ENGGAK!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang