Bab 12

222 35 45
                                    

Hallo?

Don't forget to give your impressions after reading this chapter (⁠ ⁠◜⁠‿⁠◝⁠ ⁠)⁠♡

Happy reading :)

____

Sudah sejam lalu, Harold duduk terdiam di ruang kerjanya. Sebenarnya masih ada beberapa pekerjaan yang harus dia bereskan. Tapi, alih-alih menyelesaikan dia lebih memilih terus menatap kalung locket milik mendiang istrinya. Di dalamnya ada foto keluarga yang penuh dengan senyum kebahagiaan.

Mengingatnya, foto itu di ambil setelah Lokus memenangkan perlombaan lari. Saat itu, dia baru berusia 12 tahun. Dan istrinya, Margaret, dia terlihat seperti wanita paling bahagia di semesta ini. Harold terseyum simpul. Lalu, senyuman itu berubah kaku saat melihat Lotus. Matanya sembab habis menangis karena dijahili kembarannya.

Mengingat anak itu, dia tak bisa. Melihatnya, dia akan semakin teringat kejadian itu. Dia akan teringat kepergiaanya. Kehilangan, penyesalan dan rasa bersalah.

Kenyataannya menyakitkan saat dia bertemu mata cokelat terangnya. Warna mata yang sama persis yang dimiliki Margaret.

Harold sudah lupa, kapan terakhir kali dia bisa bahagia lepas. Dulu, rumahnya bagaikan rumah yang penuh kehangatan dan kehidupan. Tapi, sekarang alih-alih merindukan dia merasa tercekik. Hanya ada ruangan dingin dengan jejak-jejak Margaret yang sudah tidak bisa ditemukan.

Malam itu, terakhir kalinya Lotus ikut makan bersama. Sorot matanya sambil berucap maaf, membuatnya melupakan cara bernafas untuk sesaat. Sorot mata yang dia lihat sebelum Margaret meninggalkannya.

Harold tidak pernah membenci anak perempuannya, sama sekali. Dan dia tahu, tidak sepantasnya dia menyalahkannya atas kepergian Margaret. Tapi- terpaksa memilih jalan ini. Mungkin, ini memang jalan satu-satunya. Alasan hanyalah sebuah alasan.

Suara ketuk pintu membuyarkan lamunannya.

"Permisi Pak Harold," Bibi membuka pintu, membawa kopi, rutinitas di hari minggu.

"Pak ini kopinya," ujarnya sambil meletakan kopinya.

"Terima kasih," sahut Harold dingin.

Harold menunggu saat Bibi belum keluar dari ruangannya.

"Pak-" ragunya.

"Ada apa?"

"Itu tentang cookies buatannya Nona Lotus. Hari ini dia tidak membuatnya dan kedepannya akan terus seperti itu."

"Kenapa?"

"Nona Lotus bertanya apakah Bapak suka atau sering memakan cookies, nya. Lalu saya menjawab kalo Bapak gak terlalu suka karena setiap saya membersihkan ruangan Bapak, cookies, nya selalu utuh."

"Kenapa?" intonasinya tajam.

"Ya Pak?" kaget Bibi. "Maaf kalo saya lancang. Bapak suka? Kalo gitu nanti saya bilangin ke Nona Lotus."

Ada sedikit jeda bagi Harold untuk menjawab. "Tidak, lupakan. Silahkan keluar."

Bibi sedikit menunduk. "Baik Pak, saya permisi."

Lelaki itu menatap kepulan kopinya. Pada akhirnya hanya ada helaan nafas yang keluar.

oOo

Menuju siang hari, banyak pengunjung yang menyewa tikar dan beristirahat ditempat yang teduh. Memakan bekal yang dibawa dari rumah atau yang dibeli di dari penjual depan.

Banyak hal yang di jual disini, ada makanan, minuman, aksesoris, menjadikan oleh-oleh yang patut untuk dibawa pulang.

Aice dan Lexux menunggu para perempuan kembali dari berbelanja dengan canggung. Sebenarnya, meski Aice terlihat biasa saja, dia sangat tak nyaman. Meski satu kelas, sama seperti Lotus sebelumnya, mereka tidak dekat dan interaksi diantara keduanya bisa dihitung pakai jari.

TRANSMIGRASI? NOVEL? ENGGAK!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang