Bab 6

234 42 72
                                    

Pagi ❤️

Kalo ada typo, tanda baca salah, atau kalimat yang gak nyambung kasih tahu aja ya (⁠ ⁠╹⁠▽⁠╹⁠ ⁠)

Happy reading (⁠ノ⁠^⁠_⁠^⁠)⁠ノ

_____

Nadine tertegun, melihat mobil mewah Lotus di parkiran sekolah. Rasanya dia ingin menangis, bahkan di usianya yang ke 26 tahun, dia belum sanggup untuk membeli mobil tersebut. Sebenarnya, seberapa besar uang jajan yang dikasih para orang tua ke anaknya di dunia ini? Ya meskipun di dunia aslinya juga banyak kasus serupa, dimana para murid mengendarai kendaraan pribadi yang lebih mewah dari guru atau presiden, rich familly. Dan Nadine sedang mengalami hal itu, meskipun bukan milik aslinya.

Nadine membuka kaca mobilnya. Angin sore terasa berbeda dengan angin pagi. Kira-kira apa penyebabnya? Jika saja dia belajar sungguh-sungguh saat SMA, mungkin dia pasti akan tahu jawabannya.

Nadine melihat stiker tulisan kecil yang tertempel di stir mobil. "Papah Harold? Siapa? Nama papahnya Lotus?"

"Kira-kira hari ini Papah pulang?" Nadine sedikit tersenyum. "Papah? Rasanya geli sekaligus asing," pelannya.

"Gue harus mencoba lebih mengenalnya."

Sebenarnya Nadine sama sekali tak punya gambaran hubungan antara Lotus dengan Papahnya. Meskipun dia sudah bertemu sekali, tapi itu hanya beberapa menit. Entah sifat Papahnya yang memang terlalu dingin karena sudah bawaan dari lahir atau ada sesuatu. Dan, hingga saat ini Nadine juga belum bertemu dengan Mamahnya Lotus. Apakah di novel diceritakan orang tua Lotus bercerai atau apa? Ini membingungkan. Saat sampai dia harus benar-benar mengobrak-abrik kamarnya, dia harus segera mendapatkan informasi.

Sekitar 10 menit kemudian dia telah sampai. Baru juga dia menutup pintu rumah, Nadine melihat Lokus yang sudah berganti pakaian menuruni tangga. Lelaki itu seperti biasa terlihat keruh saat mereka melakukan kontak mata.

"Mau langsung ke mana? Lo baru juga nyampe, kan?" tanya Nadine saat mereka sudah dekat.

Tapi, sayangnya Lokus hanya melewatinya, hanya menganggap pertanyaannya sebagai angin lalu,

Nadine menoleh cepat, mencekal lengannya. "Mau ke mana?" Bukannya apa-apa, dia merasa hubungannya dengan Lokus harus sedikit diperbaiki, suka tak suka, karena Lokus pasti memiliki informasi mengenai Lotus.

"Lepas!" Lokus mengernyit benci. "Lepasin sialan!" Lalu menghempaskannya dengan kasar.

"Santai... gue cuman tanya, itu juga baik-baik."

"Apa urusan lo?" Lokus berdecih. "Lo lupa? Lo berharap punya adik yang ngenggep lo ada. Tapi, gimana ya? Itu gak penah terjadi kecuali lo adopsi adik orang yang mau nurutin semua permintaan dan nerima semua tingkah menjijikkan lo. Jadi berhenti ganggu gue! Itu memuakkan!"

"A-apa?" Nadine kehilangan kata-katanya. "Harus lo sekasar ini ke gue? Emangnya gue udah pernah ngelakuin hal buruk apa ke lo? Hanya... gue bingung. Kasih tahu gue."

Tapi, alih-alih mendapatkan jawaban, dia malah mendapatkan wajah Lokus yang memerah kesal, mulutnya mengatup kuat, urat lehernya terlihat pertanda kemarahan yang sedang dia tahan.

"Bangsat!" umpatnya. "Lo bingung? Kasih tahu gue? Lo bener-bener menjijikkan. Pura-pura lupa? Pura-pura apa lagi yang lagi lo jalani? Sial! Lo harus tetap ingat! Karena kemalangan yang terjadi di rumah ini karena lo!!" hardiknya. "Berhenti ganggu gue! Sebelum gue semakin berharap lo menghilang dari dunia ini selamanya!"

Meski Lokus sudah pergi, Nadine masih berdiri mematung. Mencoba mencerna setiap lontaran yang dia dengar. Ada berbagai macam perasaan aneh yang menguliti dirinya dan salah satu yang sangat terasa kentara ialah sakit. Kesakitan yang jauh lebih dalam, jauh lebih perih yang dia punya saat berada di dunia asli.

TRANSMIGRASI? NOVEL? ENGGAK!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang