Bianglala Kota

32 21 1
                                    

Setelah pengungkapan di hari itu, ia berpikir bahwa nantinya kami akan merasa canggung untuk bertemu. Namun, aku mencoba untuk menenangkannya pada saat itu, meskipun aku berpikir demikian juga.

Aku sendiri tidak tahu, akankah pertemuan kita nanti akan terasa asing atau tidak. Aku memikirkan itu sepanjang malam.

Beberapa hari kami lalui dengan hanya mengirimkan pesan melalui handphone. Mungkin kami memang masih merasa tidak enak satu sama lain karena saling mencintai. Esok hari, esok hari adalah hari selasa, yang dimana aku akan bertemu dengannya di kelas.

***

Sebelum matahari memancarkan sinarnya, aku sudah terlebih dahulu bangun. Mandi, sarapan, serta menyiapkan buku; aku harap pertemuan dengan Gea nanti, kami tidak akan merasa asing.

Sesampainya di kampus, seperti biasa, aku berkumpul terlebih dahulu dengan beberapa temanku di sebuah warung kopi di dekat kampus sebelum masuk ke dalam kelas, karena memang aku datang lebih awal dari jam mata kuliah.

Tak lama kemudian, ada dari salah satu temanku bertanya perihal kedekatan ku dengan Gea.

"Dim, kau sama Gea sedang dekat, ya?"

Entah darimana berita itu tersebar. Aku mencoba berbohong kepada dia.

"Ah, nggak kok, Ica."

"Tapi, kemarin anak-anak kelas membicarakan kalian berdua loh."

"Hah, iya, kah?"

"Iya."

"Nggak, Ca. Aku dan Gea cuma berteman seperti biasa."

Setelah menghabiskan minuman dan selesai mengobrol, akhirnya kami bergegas untuk menuju kelas, karena waktu sudah menunjukan pukul 7:00, karena kelas akan dimulai jam 7:10, dan kami tidak mau terlambat.

Tak berapa lama aku tiba di kelas, belum sempat meletakan tas dan duduk di kursi ku. Seketika ketua kelas menghampiri ku dan bertanya padaku dengan topik berita yang sama.

"Dim, kau benar-benar sedang dekat dengan Gea?"

Astaga, mungkinkah satu kelas ini sudah mengetahuinya, dan darimana asal berita itu.

Namun kali ini aku menjawab dengan jawaban berbeda. Karena sedikit kesal aja sih ditanya perihal itu terus.

"Iya, aku sedang dekat sama dia, kenapa emangnya?"

"Tidak apa-apa sih, Dim. Tapi bukannya kalian berbeda, ya?"

"Nggak, kok. Kami sama-sama manusia, ahahah."

"Ihh, bukan itu." Dengan nada sedikit kesal.

"...maksudnya 'keyakinan agama' di kalian kan berbeda. Sehingga temboknya pasti sulit dan tinggi."

"Tak apa, Mi. Setidaknya, biarlah aku yang menabrak tembok itu."

Aku hanya mencoba meyakinkan temanku itu, bahkan, Gea pun selalu mengatakan bahwa rasa cintanya padaku adalah sebuah kesalahan dan seharusnya tak pernah terjadi. Aku memahami, mungkin ia merasa tertekan karena perbedaan itu. Namun aku sendiri tak merasa terbebani dengan itu semua, karena bagaimanapun, cinta adalah sebuah perasaan yang kita sendiri tidak akan pernah tahu di mana ia akan tumbuh; dengan siapa atau dengan hal apa.

Namun juga, cinta itu adalah fasilitas mewah yang diciptakan oleh Tuhan. Sehingga, kita tidak boleh menyalahi perasaan cinta itu.

***

Jam pertama dan kedua akhirnya selesai, dan tibalah waktu untukku bertemu dengannya di jam ketiga. Tak lama kemudian, ia masuk ke dalam kelas. Aku mencoba menyapanya.

KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang