lantai 6

29 17 2
                                    

Keesokan hari, aku baru terbangun saat matahari sampai pada puncaknya. Karena hari ini aku libur kuliah dan hanya ingin bermalas-malasan di rumah.

Aku tak langsung mandi, dan kurasa, mungkin itu juga yang kalian lakukan saat sedang libur kuliah atau bekerja. Aku hanya membaca buku sambil menonton acara berita di televisi, namun tak lama kemudian, ibuku menghampiri dan bertanya kepadaku yang hanya baca buku sambil menonton televisi.

"Kenapa gak kuliah?"

"Kan ini hari kamis, jadi libur."

"Kalau gitu, mending bantu ibu beres-beres rumah, ibu mau masak."

"Baik, Bu."

Karena ayah dan abang ku sudah pergi bekerja dari tadi pagi, jadi hanya ada ibu dan aku saja di rumah. Dan tak lama ibu juga harus pergi bekerja, dan dia ingin rumah sudah beres sebelum berangkat. Sewaktu aku membantu untuk memotong sayur-sayuran, aku mencoba membicarakan tentang kedekatan ku dengan Gea padanya.

"Bu, Dimas saat ini menyukai seseorang di kampus."

"Siapa namanya? Teman sekelas, kah?"

"Namanya Gea, Bu. Dia bukan dari kampus ku sih, dia berasal dari kampus lain."

"Terus, kenapa kau bisa bertemu dan menyukainya?"

"Dia mengikuti program pertukaran mahasiswa sementara, dan dia akan berada di sini selama satu semester."

Sambil mengambil beberapa wortel yang hendak aku potong.

Tak lama kemudian, ku beritahu foto wajahnya dari galery handphone ku, aku menceritakan semua tentang Gea kepada ibuku. Dari awal kami bertemu dan saling menyukai.

Namun, ada kenyataan yang harus aku katakan juga pada ibu, sebab hal ini pasti agak terlalu tabu untuk diketahui.

"Tapi, Bu. Kami memiliki 'keyakinan' yang berbeda." Dengan nada sedikit berat, aku mencoba mengatakannya. "...maksud ku, Agama kami berbeda, Bu."

Awalnya, ibu menyetujui aku dekat dengan Gea, sebab memang tidak apa-apa jika anaknya mencintai seorang wanita yang menjadi pilihannya. Namun setelah lama berpikir, akhirnya ibu mempertimbangkan kembali kata-kata nya. Karena nanti hubungan kami bukan hanya tentang dua orang, melainkan ada dua pihak keluarga yang mungkin menimbulkan pro dan kontra. Dan juga, sebuah stigma yang beredar di kalangan masyarakat tentang hubungan beda agama adalah sesuatu yang tabu dan tidak bisa untuk dilanjutkan.

"Kalau bisa, cari yang sama (agama) kayak kita aja, yah. Ibu takut ayahmu tidak setuju. Bahkan kamu bisa menjadi bahan omongan dari tetangga" Dengan perasaan berat hati ibu mencoba menjelaskan kepadaku.

"...ibu bukannya mau melarang kamu dalam perihal mencintai seseorang; kamu boleh saja mencintai wanita manapun, dengan latar belakang seperti apa, karena memang tak ada paksaan seperti itu. Tapi ini tentang keluarga kita juga keluarga dia, dan itu pasti sangat sulit untuk nantinya kamu jalani."

"Aku mengerti, Bu."

Dengan hanya mengucapkan terimakasih dan tersenyum. Aku langsung pergi meninggalkan ibuku dan beberapa sayuran yang belum selesai dipotong. Saat itu aku tidak bisa menerima kenyataan yang harus aku tanggung, bukan berarti aku akan menyalahkan sebuah dogma yang telah berlangsung beribu-ribu tahun ini. Tapi aku hanya butuh waktu untuk bisa menerima itu semua, aku harus mencari tahu mengapa itu menjadi sesuatu yang sangat mustahil untuk terjadi.

***

Betapa menyakitkannya, betapa tidak adilnya kenyataan, betapa jahatnya dunia pada ku saat ini. Dan kata yang selalu ada dipikiran ku semenjak kejadian itu adalah "Kenapa?"

KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang