Aku terbangun dari sebuah mimpi panjang penuh teka-teki, dengan beralaskan tikar; aku tidur dengan nyaman. Setiap ingin tidur, aku selalu memastikan diri untuk membaca buku, jadi ketika aku tidur, aku selalu terbangun dengan buku berada di atas dadaku.
Pagi hari ini, secangkir kopi sudah tersedia di atas meja, dan ada juga beberapa roti. Aku tahu pasti ibu dari Ichan yang telah mempersiapkan ini semua sebelum ia pergi ke ladang.Suasana pagi di desa ini masih sangat sejuk; sebuah keadaan yang tidak ku dapatkan selama di kota. Di kota masih terlalu banyak manusia hipokrit. Langitnya pun masih sangat biru, dan awan terlihat bahagia bermain di atas sana. Beda dengan di kota, dimana polutan sudah sangat akrab dengan langit dan nafas manusia. Bahkan, mungkin jika polusi itu terus berlanjut, dan terus mengarah ke atmosfer; lambat lain peradaban di muka bumi ini tidak akan bertahan hidup.
Di sela pagi, selepas membersihkan diri, aku langsung menikmati kopi dan kue yang telah dibuatkan untuk ku. Seketika itu, Ichan mengajakku untuk melihat langsung tanamannya di ladang.
"Dim, kamu mau ikut ke ladang, gak?"
Tanya Ichan
"Mau, Chan."
"Ya sudah, kamu habiskan saja dulu kopi sama kuenya. Setelah itu kita langsung ke ladang. Aku juga sudah membawa bekal untuk kita makan di sana sama-sama."
Ichan mengambil bekal yang sudah ia siapkan sedari pagi untuk makan siang kami di ladang nanti.Kopi yang ku minum sudah tidak terlalu panas, tapi aku tetap menikmatinya sambil melihat perbukitan yang berada tidak jauh di depan rumah. Setelah kopi itu habis, aku langsung mengajak Ichan untuk berangkat.
"Ayo, Chan. Kita berangkat?"
"Oke, Dim. Tapi nanti kamu tolong bawa bekal makanan ini ,ya. Aku mau ambil cangkul."
"Baik, Chan."Kami pun berjalan melewati ilalang yang lumayan tinggi di antara hamparan pepohonan cengkeh. Setelah melewati itu, kami masih harus dihadang dengan aliran sungai. Saat musim penghujan, aliran sungai ini akan sangat deras dan berbahaya. Karena jembatan yang tersedia hanya beberapa batang bambu yang disusun dan diikat satu sama lain saja. Bahkan kata Ichan, jika musim hujan datang. Banyak warga yang harus memilih jalan memutar untuk menghindari aliran sungai yang deras. Namun perjalanannya manjadi lumayan jauh.
Selama di perjalanan, aku menanyakan kepada Ichan tentang apa saja tanaman yang biasa ditanam para petani di sini.
"Oh iya, Chan. Biasanya petani di sini itu menanam apa?"
"Beragam, Dim. Ada padi, kacang tanah, bawang, cabai, dll."
"Kalau kamu dan orang tua mu, menanam apa?"
"Kami menanam padi dan beberapa sayuran di ladang."
"Apakah padi mu sudah mulai panen?"
"Belum, Dim. Ya, sekitar satu bulan lagi deh."Jadi secara umum, padi yang bagus dapat dipanen setelah berusia tiga bulan semenjak ditanam. Namun, ada beberapa ciri spesifik saat padi benar-benar sudah siap dipanen. Diantaranya adalah saat kulit luar atau gabah sudah terlihat berwarna kuning keemasan, dan tanaman padi sudah merunduk; menandakan bahwa sudah ada beras di dalam sana.
Tak ku sangka, ternyata ladang yang dimiliki keluarga Ichan itu sangatlah luas. Sekitar 700 meter persegi. Namun yang paling banyak ditanam adalah padi.
"Dengan ladang seluas ini, apakah hanya kau sama orang tua mu saja yang mengerjakan?"
"Ya, tidak mungkin, Dim. Kami juga memperkerjakan beberapa orang di ladang ini."
"Ohh, jadi kau membayar pekerja juga."
"Iya, Dim. Karena terlalu luas, jadi keluarga kami cukup kerepotan kalau harus mengurus semuanya."Dari kejauhan, nampak orang tua dari Ichan sedang menanam tanaman padi.
"Itu mereka." Ucap Ichan sambil menunjuk ke arah orang tuanya.
"Ayo kita ke sana."Begitu hebatnya kedua orang ini. Di tengah teriknya matahari yang menyengat, mereka tetap semangat bekerja. Dan aku lebih sakit lagi dengan Ichan. Di usia yang masih muda, ia sudah bekerja sangat keras untuk kehidupannya. Kami menghampiri orang tua Ichan untuk memberikan makan siang kepada mereka.
"Bapak, Ibu. Ini kami bawakan bekal untuk kita makan sama-sama." Ucap Ichan.
"Iya, nak. Kamu taruh saja dahulu di dangau itu. Nanti setelah ini kita makan sama-sama." Jawab ibunya.
"Baik, Ibu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu
Romancekisah cinta yang berbeda berlipat ganda. Agama, Suku, Ras, dan Kota. Mungkin memang tak ada yang salah dalam mencintai, akan tetapi, terkadang cinta itu tumbuh di sebuah ruang dan waktu yang salah. Ini adalah sebuah kisah tentang seorang Mahasiswa b...