Aku, Kamu, 5 waktu, dan Gereja Hari Minggu

27 14 2
                                    

Walau terbilang ia tidak lama berada di sini, tapi aku ingin mengabadikan cerita kami berdua ini di dalam sebuah tulisan. Agar suatu hari nanti, jika kami dipertemukan kembali, kami bisa melihat lembaran-lembaran kenangan yang telah kami lakukan di tahun ini.

Saat sedang di perjalanan mengantarnya pulang, aku memberi tahunya perihal keinginan ku untuk menuliskan cerita tentang kami berdua.

"Gea, aku ingin menuliskan sebuah cerita untuk dijadikan buku."

"Wah, bagus dong, Dim. Tentang apa buku itu?"

"Tentang kita selama di sini." Sambil memperhatikan lampu-lampu kota. "Aku ingin agar suatu hari yang akan datang, dan kita tidak dapat bertemu lagi, kita masih bisa melihat kenangan itu di dalam buku yang akan ku buat ini."

"Itu artinya, cerita tentang kita akan abadi, Dim?"

"Iya, Gea. Ini bukan berarti aku berharap supaya kisah ini dapat terulang kembali, tapi biarlah kenangan ini menjadi pengingat untuk kita saja, karena hanya lewat kata-kata, cerita kita bisa abadi."

"Nanti beri tahu aku, ya, kalau sudah jadi. Aku juga mau membacanya."

"Iya, Gea. Dalam waktu satu semester yang akan datang. Aku akan berusaha agar cerita ini dapat terwujud untuk dibukukan."

Sambil melingkarkan jari kelingking kami masing-masing, kamipun sepakat akan janji itu. Disaksikan dengan temaramnya kota.

"Oh iya, Gea. Kapan tepatnya kamu akan pulang dan selesai di kota ini?"

"Tanggal 15 Januari 2024, Dim?" Sambil tertawa kecil. "Kau pasti akan rindu dengan temanmu yang menggemaskan ini, yah?"

Aku pun tertawa. "Aku hanya ingin, jika kamu pulang nanti, tolong tetap memberi kabar padaku, ya!" Meskipun memang pasti aku akan merindukannya.

"Pasti, Dim. Aku tetap akan memberi kabar padamu, kok." Dan dengan tersenyum kepadaku. "Bahkan, jika suatu hari aku ditakdirkan untuk kembali ke kota ini, kamu orang pertama yang akan ku kabari."

Aku merasa sangat bahagia dengan ucapan dia, meskipun aku juga tidak tahu kapan waktu itu akan terjadi. Setidaknya, aku akan tetap menunggu hari itu.

"...dan, jangan lupa jemput aku nanti di bandara, ya, Dim."

Dengan perasaan bahagia. "Pasti, Gea."

***

Kita memang bukan Istiqlal dan juga katedral yang ditakdirkan berdiri bersama dalam perbedaan. Namun, seandainya kedua bangunan itu diberi nyawa, siapa yang tahu bahwa mereka saling mencintai?

Tetapi, aku juga harus sadar. Mungkin bisa saja aku mencintai seseorang dengan latar belakang agama apapun. Namun satu hal yang harus ku mengerti; aku tidak boleh mengambil dirinya, dari Tuhannya.

Cinta bukanlah sebuah ikatan, dimana kita selalu mewajibkan orang yang kita cintai harus sesuai dengan apa yang kita inginkan, itu sama saja kita mengambil hak atas kebebasan pasangan kita sendiri. Melainkan, cinta itu adalah sebuah kepercayaan untuk membebaskan pasangan kita. Karena setiap orang berhak atas diri pribadinya, tanpa ada satupun intervensi dari orang lain. Akan tetapi, seseorang yang diberikan kebebasan oleh pasangannya, tidak lantas harus melakukan hal yang dapat melukai atau menyakiti pasangannya karena kebebasan itu.

Aku sendiri, sebenarnya tidak tahu apa sebenarnya cinta itu. Satu-satunya yang ku ketahui, cinta itu menjauhkan ku dari menyakiti orang lain. Karena, jika aku menyakiti, itu artinya aku tidak benar-benar mencintai, dan aku tidak berhak atas kata cinta itu.

Meskipun pada akhirnya Gea tidak memilihku, aku tetap ingin bersamanya meski nanti ia akan pergi jauh dariku. Sekarang ini, aku masih tetap memuji takdir karena sudah berkenan mempertemukan kami berdua. Walaupun, takdir juga lah yang memisahkan kami. Aku sudah bisa menerima atas hal yang tidak bisa aku ubah, karena akhir dari semua ini adalah kami harus saling merelakan dan mengikhlaskan.

***

Setelah pertemuan kami kemarin, aku dan Gea kini jarang bertemu. Bukan karena masing-masing dari kami memberikan jarak, melainkan kami sedang sibuk belajar untuk mempersiapkan ujian akhir semester yang akan berlangsung besok.

Kami belajar dengan sangat giat, dan tak lupa juga kami berdoa kepada Tuhan kami masing-masing.

"Gea, hari ini kamu belajar apa?" Aku menanyakan perihal kesibukannya dengan mengirimkan pesan online.

"Metodologi, Dim. Kau sendiri?"

"Aku sedang menguji data dengan menggunakan uji liliefors."

"Statistika, ya?"

"Iya, Gea."

Karena memang menurutku, statistika itu yang agak memusingkan, jadi aku harus belajar lebih giat untuk mata kuliah ini.

"Jangan lupa juga berdoa, Gea."

"Iya, Dim. Sore ini juga aku kau ke gereja."

"Doakan aku juga, ya. Agar lancar ujiannya."

"Kamu juga doakan aku, ya."

"Iya, Gea. Setiap sehabis selesai sholat, aku berdoa agar kita berdua lulus dengan hasil memuaskan."

Perlahan, kami sudah bisa menerima perbedaan ini. Tak lama kemudian, ia mengirimkan foto sedang beribadah di dalam gereja, dengan secarik kertas berisi catatan teori dari metodologi.

"Dim, lihat ini. Jalur Tuhan."

"Ahahaha, memang ketika kita sudah berusaha dengan maksimal, sisanya tinggal kita serahkan saja pada Tuhan."

"...aku juga baru selesai sholat maghrib."

Sambil memberikan foto sajadah di dalam masjid. "Yaudah, Gea. Kamu lanjut ibadahnya."

"Iya, Dimas."

***

Suatu kenyataan itu harus bersifat sebagaimana dia bersifat. Supaya manusia itu dapat dimengerti dan diberi ciri khusus sebagai manusia. Sehingga kita tidak boleh hanya melihat bagaimana dia terlihat, bagaimana ia bertindak, dan bagaimana ia berekspresi. Tetapi juga ia harus dimengerti sebagai makhluk yang memiliki perasaan, kebebasan, mencintai dan dicintai, menentukan sesuatu, merasakan kecewa atau bahagia, dan bahkan mengenal putus asa.

*

Ada begitu banyak pilihan yang disediakan alam semesta ini kepada kita. Tinggal kita memilih mau mengambilnya atau tidak. Jangan pernah beranggapan bahwa hanya ada dua warna di dunia ini; hitam dan putih. Karena, pada dasarnya, justru dari kedua warna itu kita bisa menciptakan warna lain. Selalu ada pilihan diantara yang kita anggap hanya ada dua pilihan saja. Dan aku melakukan itu, diantara pilihan untuk terus mencintai nya atau melepaskannya; aku memilih untuk berteman dengannya.

***

Pukul 8 malam.

"Kamu sudah selesai ibadah, Gea?"

"Sudah, Dim. Tapi aku gak langsung pulang, aku masih di gereja. Aku merasa lelah hari ini, jadi aku ingin mengadukan ini pada Tuhan."

"Baik, Gea. Semoga Tuhan mu mendengar dan membantu mu melewati ini semua."

"Amin. Terimakasih, Dim."

Aku hanya memahami, karena memang ia adalah tulang punggung keluarga selepas kepergian ayahnya. Aku juga tidak bisa merasakan apa yang ia rasakan, sebab aku tidak mengalami itu. Namun menurutku, Gea adalah sosok wanita yang sangat hebat dan kuat. Di usia dia yang terbilang muda, dia mampu menanggung semua itu seorang diri, dan dia masih bisa menyembunyikan masalah-masalah itu dibalik senyumnya. Aku merasa malu dengan dia, sebab aku tidak sehebat dia.

"Dim, besok bisa temani aku pergi, gak, selepas kuliah?"

"Bisa, Gea. Kamu mau kemana?"

"Kemana aja, Dim. Asal pikiranku merasa tenang walau sebentar."

"Baiklah, Gea. Nanti aku kabari. Sampai jumpa besok, dan semangat ujiannya."

"Kamu juga, Dim. Sampai jumpa."

Perbedaan bukan lah sebuah halangan dua manusia saling mencintai. Akan tetapi, ada sebuah norma yang mengatur agar mereka tidak terlalu larut sehingga mengingkari apa yang ia yakini sejak lama. Lagi pula, bagaimana bisa seseorang dengan sangat egois mengalihkan cintanya dari Sang Pencipta kepada kekasihnya; rasa cintanya pada Tuhan saja ia ingkari, bagaimana dengan cintanya terhadap manusia? Aku juga tidak melarang, karena setiap manusia punya kehendaknya masing-masing. Namun kembali lagi, segala kehendak yang dilakukan itu antara lain tercipta karena hukum alamnya.

KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang