Konstelasi Bintang

14 3 0
                                    

Keesokan harinya, seperti biasa, aku bangun lebih lambat dari kedua orang tua Ichan. Ibunya telah menyiapkan sarapan di meja makan untuk Ichan dan diriku. Hari ini, Ichan tidak mengajakku pergi ke ladang, melainkan ia mengajakku untuk pergi memancing di sungai.
"Dim, kamu mau ikut memancing di sungai, tidak?"
"Mau, Chan. Memangnya hari ini kamu tidak ke ladang?"
"Tidak untuk hari ini." Sambil tertawa.
"Baiklah."

Kami pun mulai mempersiapkan beberapa perlengkapan untuk memancing. Ichan juga ternyata sudah menyiapkan umpan untuk nanti. Namun sebelum kami ke sungai, kami harus mengantarkan bekal makanan untuk kedua orangtuanya terlebih dahulu.
"Nanti tolong kamu bawa bekal makanan yang aku siapkan di meja itu, ya, Dim."
"Oke, Chan."

Kami pun berangkat dengan sepeda motor, sebab jalan menuju ke ladang, jembatan yang terbuat dari batang bambu itu rusak akibat terjangan banjir. Sehingga kami harus melalui jalan memutar dan melewati jembatan yang lebih besar.
Kami melewati desa tetangga yang mayoritas masyarakatnya adalah peternak udang. Yang kemudian jika hari panen tiba, mereka akan menjualnya ke restoran-restoran yang menyediakan masakan laut.

Jalanan di sini lumayan bagus, jadi kami tidak menemukan hambatan saat pergi ke ladang. Setelah sampai, kami parkir motor itu di pinggir ladang dan mulai berjalan menyusuri tanaman padi. Kami langsung menghampiri kedua orang tua Ichan dan menyerahkan bekal makan siang yang telah kami bawa tadi.
"Bu, ini bekal makan siangnya." Ichan berjalan sambil meletakkan makan siang itu di dangau.
"Iya, nak. Kalian sudah makan?" Tanya ibunya.
"Sudah, Bu. Dimas juga sudah." Jawab Ichan. Aku pun tersenyum.
"Kami pamit, ya, Bu. Kami mau memancing di sungai."
"Ya Sudah, hati-hati. Airnya juga sedang naik."
"Baik, ibu." Kami pun bergegas pergi.

Memang akan sangat berbahaya jika kita tidak berhati-hati selama sedang di sungai. Aliran airnya sangat deras, sehingga sangat riskan jika tidak waspada.
Sebelum itu, ibunya mengingat kan kami untuk tidak pulang sampai petang.
"Pulanglah sebelum gelap."
"Iya, ibu."

Kami menyusuri setiap ladang milik penduduk sekitar. Sungai itu tidak jauh dari ladang. Ketika sampai, aku langsung menyiapkan perlengkapan memancing; memasang umpan; dan tentunya membuat kopi.

Ilalang yang tak terurus dan tak pernah ambil peduli, pohon-pohon menjulang ke angkasa; meregang waktu bersaksi.

Aku menikmati keindahan serta kesejukan di bawah rindangnya pohon. Tak lama, akhirnya umpan ku disambar ikan juga. Tenaganya sangatlah besar, sehingga sedikit melelahkan untukku. Ditambah dengan derasnya aliran air, akan sangat sulit menaikan ikan ini ke tepian. Setelah berjibaku cukup lama, ikan pun menyerah dengan pertarungan. Sangat besar. aku pun terpukau dan tersenyum lebar melihatnya. Beratnya, mungkin, sekitar 3 kilogram.
"Chan, lihat ini." Sambil mengangkat ikan hasil tangkapan ku.
"Waaa, besar sekali." Ia terkejut.

Tak lama setelahnya, Ichan juga mendapati umpannya sudah dimakan oleh ikan. Dan dia dapat satu. Meski ukurannya tidak lebih besar dari tangkapan ku.
"Makan ikan kita nanti malam, Dim." Ia tertawa bahagia.

Tidak terasa waktu pun sudah semakin senja. Awan gelap mulai menyelimuti. Kami harus cepat pulang karena hujan sebentar lagi akan segera turun.
Ku rapihkan perlengkapan memancing itu, lalu menuju sepeda motor yang kami parkiran dipinggiran ladang.
Ichan memacu kencang motornya. Ia takut kami kehujanan.

Sesampainya di rumah, hujan pun turun dengan derasnya. Ketika kami di perjalanan, sebenarnya hujan juga sudah turun, tapi dalam bentuk yang tidak deras. Tadinya, kami ingin membakar ikan hasil tangkapan kami. Namun akibat hujan deras, kami urungkan niat itu. Aku memutuskan untuk menggoreng saja. Setelah membersihkan, lalu aku menyerahkan ikan itu kepada ibunya, karena aku tidak pandai dalam memasak.

Selepas ku berikan. Sambil menunggu. Aku pergi ke teras untuk menelepon ibu ku di rumah. Panggilan itu hanya berdering saja, tak ada jawaban di sana. Aku tahu mungkin ibuku sedang sibuk. Jadi aku putuskan untuk meninggalkan pesan suara kepadanya.
"Ibu, selama di sini, aku belajar meredam tangis ku. Aku belajar untuk bisa menerima segala sesuatunya dengan ceria. Aku harus bisa menahan air mataku agar kalian di sana tidak melihat diriku menangis lagi; meski kalian juga tidak peduli jika aku menangis. Aku sudah menjalani hari-hari dengan lebih baik. Aku sudah terlihat banyak tersenyum di sini. Tawaku yang hampir hilang pun, kembali ku temukan di sini. Sangat tidak mengenakkan jika aku harus terus berpura-pura terlihat bahagia di sana. Kata orang tua Ichan. Aku harus bisa meraih apa yang menjadi inginku. Harus selalu sabar, walau banyak hal menyakitkan yang ku rasakan akhir-akhir ini. Sebenarnya, aku butuh orang tua ku sendiri untuk menyemangati ku, aku juga ingin banyak bercerita tentang keluh kesah ku. Akan tetapi aku tak pernah menemukan itu. Dan aku takut mengganggu dirimu. Ibu, jujur saja, aku sering merasa kesepian ketika aku pulang ke sana. Berada di rumah itu. Orang-orang yang datang padaku, mereka hanya ingin memanfaatkan kebaikan ku saja. Namun pada saatnya aku ingin meminta pertolongan, mereka pergi meninggalkan ku. Mereka hanya berkata 'jangan terlalu lemah menghadapi masalah sendiri'. Mereka menuntut ku untuk menyelesaikan masalahku sendirian. Aku hanya butuh teman cerita, aku hanya butuh ada orang yang mau mendengarkan ceritaku. Itu saja. Meski pada akhirnya aku berjalan sendirian, tetapi aku harus tetap menjalaninya, kan, Bu?"

Itulah pesan suaraku kepada ibuku.

Beberapa saat kemudian, hidangan telah selesai dimasak. Lalu Ichan memanggilku untuk bergabung.
"Dimas, mari kita makan?"
"Iya, Chan. Aku ke sana."

Aku makan dengan lahapnya. Memang benar, ikan yang ditangkap dari sungai, rasanya menjadi lebih manis dan segar. Hari ini kami dapat 5 ekor ikan.

***

Pada malam hari yang tenang ini. Hujan deras di luar rumah yang menenangkan. Meski berisik dan ramai; aku tetap merasa sunyi. Rasanya baru saja kemarin hujan mengingatkan diriku dengan sosok Gea. Dan kali ini, hujan kembali datang dengan serta membawa ingatan itu.

Aku ingin menuliskan cerita hari ini di dalam buku harian ku. Tapi lagi-lagi hatiku hanya mendapati kekosongan. Tanganku kaku. Sehingga aku tidak dapat menulis; aku mengingat kisah cinta yang tidak ada titik akhirnya itu. Mungkin ini yang sering dikatakan seseorang sebagai mati rasa. Padahal, selama perjalanan naik kapal menuju ke rumah ini. Aku telah membuang semua ingatan itu di laut. Namun hujan membawanya kembali ke daratan.

Kehampaan mendekap erat. Ia masih saja menyimpan kata-kata selamat tinggal pada diriku. Dan hatiku pun masih enggan untuk melupakan kehampaan itu.
Semuanya menjadi tidak penting di sini. Segala permasalahan yang ku bawa sangatlah tidak berguna; aku harus benar-benar menghapusnya.

*
Setelah selesai makan, aku merapihkan dan membantu mencuci piring. Kemudian, selepas itu, aku pergi dan duduk di teras depan rumah; melihat rintik hujan yang mulai reda.

Betapa menyenangkannya menjadi ada. Hidup di antara keramaian dan menciptakan ketenangan untuk semua orang. Apakah bulan malam ini tidak ingin dicintai oleh orang sepertiku? Sehingga ia menghilang dan lenyap dari pandanganku.

Adakah makna dibalik segala pemikiran ini? Mungkinkah Tuhan memiliki rencana yang lebih indah daripada ekspektasi ku sendiri? Ya, aku hanya bisa berharap kepada Tuhan; sambil berusaha menemukan jawabannya.

***

Disela-sela malam. Aku terus memikirkan. Aku menyadari bahwa akhir-akhir ini Gea mulai berubah. Aku tahu sudah ada orang lain yang telah lama tinggal di hatinya. Aku tahu kehadiranku hanya sebagai pengisi ruang kosong saat laki-laki yang ia cintai itu pergi untuk sementara dari hatinya. Dari awal, sebenarnya aku tahu bahwa ia tidak pernah benar-benar mencintaiku. Aku menyadari itu saat pertama melihat matanya. Apakah ada hal lain yang lebih menyakitkan daripada menatap mata seseorang yang kita cintai, namun malah bayangan orang lain yang terpantul di sana.

Aku mengerti aku hanya sebagai penghibur saat tokoh utamanya sedang istirahat. Aku sadar kata-kata yang ia pernah ucapkan dan perlakuan dia padaku hanyalah sebuah kepura-puraan. Tapi aku selalu mengabaikan itu. Aku tetap membalasnya dengan rasa cinta. Aku memang bodoh. Tapi aku sendiri juga tidak tahu mengapa begitu.

Semua yang kami lakukan selama ini hanyalah sesuatu yang sia-sia. Aku tahu selama ini bukanlah tentang diriku yang ada di hatinya. Jadi aku telah siap jika memang suatu saat harus melepaskannya. Namun, dengan segala kepura-puraan yang ia berikan, aku masih saja tidak bisa meninggalkan nya.

Ada hati yang telah lama ia cintai, aku tidak akan pernah bisa menggantikan laki-laki itu. Aku tidak bisa membedakan antara kebodohan dengan cinta. Aku salah pada diriku sendiri, aku salah pada dunia ini; pada semesta ini.

***

Waktu pun semakin larut. Titik-titik cahaya pada bintang membentuk formasi saling menjaga. Meski mereka tahu bahwa bulan telah lenyap. Mereka tetap percaya dan terus bersinar; bulan akan kembali di sisi mereka.

Ketika Ichan datang, ia mendapati diriku masih termenung menatap langit. Ia menghampiri dan duduk di sebelahku. Ia memahami posisiku saat ini.
"Semua akan berlalu, Dim." Ucapnya sambil menepuk bahu ku.
Aku tersenyum. "Iya, Chan."
"Cahaya kecil yang dipancarkan bintang itu tetap saja bersinar meski ia tahu bahwa bulan sudah tidak ada lagi di sisinya." Lanjutnya.

Ia pun bangkit. Sebelum masuk, ia mengingatkan diriku untuk tidak tidur terlalu larut.
"Jika kamu sudah memahami, kau langsung tidur, ya, Dim. Aku duluan."
"Iya, Chan. Terimakasih." Aku menatapnya dan tersenyum.

Tak lama kemudian, aku juga masuk ke dalam rumah, menuju kamarku dan mencoba tidur.

Semuanya akan menjadi biasa setelah ini. Semuanya akan berakhir. Aku akan bahagia.

KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang