Pulang

1 1 0
                                    

Aku dan Gea berjanji untuk bertemu sebelum hari perpisahan yang sesungguhnya terjadi. Setelah beberapa hari menjejakkan kaki di pulau Sumatra, akhirnya aku kembali ke sini. Di kota pertama aku dan Gea pertama kali bertemu.

Sebelum aku pulang, tak lupa aku berterimakasih kepada temanku dan juga kedua orangtuanya.
"Bapak, Ibu, Ichan. Terimakasih sudah menerima saya di sini. Terimakasih juga telah memberikan pengalaman yang indah ini. Hari ini saya akan pulang, jadi saya izin pamit, Pak, Bu. Jika suatu hari nanti Tuhan memberikan saya kesehatan dan mengizinkan saya untuk kembali ke pulau ini lagi. Saya akan mengunjungi rumah ini. Jika Bapak dan Ibu berkenan."
"Kamu akan selalu diterima di rumah ini, Dimas." Ucap Ibu Ichan.
"Ya, main-main lah ke sini suatu hari nanti." Tambah Ayahnya.
"Terimakasih juga, ya, Chan. Sudah mau menemani ku selama di sini."
"Sama-sama, Dim."
"Bapak, Ibu. Saya pamit, ya?."
"Iya, nak. Hati-hati kamu di jalan. Kabari kami jika sampai di rumah, dan salam untuk kedua orang tuamu di sana."
"Baik Pak, Bu. Sampai bertemu kembali. Sampai jumpa, Chan. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."

Dengan perasaan sedih, aku meninggalkan rumah itu. Semua pengalaman ajaib yang aku dapat selama di rumah itu---tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku. Aku mencintai mereka, aku mencintai alam di sana, aku mencintai setiap cerita yang terukir di bebatuan pantai itu.

Singkat cerita. Dengan menempuh 1 jam perjalanan ke dermaga, 2 jam perjalanan naik kapal laut, dan 4 jam untuk sampai ke rumah. Setibanya, aku langsung mengabari Gea.
"Gea, aku sudah sampai di rumah."
"Iya, Dim. Hari ini aku juga sudah mulai latihan menari untuk perpisahan mahasiswa merdeka nanti."
"Oh, baiklah. Bisakah besok kita bertemu?"
"Bisa, Dim. Tapi agak siang, ya? Kita mau ke mana?"
"Iya, Gea. Kita pergi ke perpustakaan kampus aja, ya?"
"Baik, Dim."

Sebelumnya, saat kami masih aktif belajar di kampus. Kami memang terbilang sering mengunjungi perpustakaan ini. Entah itu untuk belajar, membahas sebuah buku, dan bahkan, kami pernah hanya sekadar tidur di perpustakaan itu; kalau bisa, kalian jangan mengikuti yang terakhir itu, ya. Itu kami lakukan karena sudah sangat lelah belajar di kampus, kok.

***

Sebenarnya, pada saat itu, ibu sudah melarang diriku untuk pergi ke rumah Ichan. Namun aku bersikeras untuk ke sana. Ia bilang kesehatan ku belum pulih, jadi dia sangat khawatir.
"Bagaimana kabar Ichan dan kedua orangtuanya?"
"Mereka sehat, Bu. Mereka juga menitipkan salam kepada Ibu dan Ayah."
"Baiklah. Istirahat lah kamu, pasti melelahkan sekali perjalanan ke sini."
"Iya, Bu."

Keesokan harinya, aku kembali mengingatkan Gea untuk bertemu denganku.
"Gea, bisa, kan, pergi hari ini?"
"Iya, Dim. Bisa kok."
"Baik. Nanti aku akan menjemputmu."
"Iya, Dim."

Pada akhirnya, aku pergi untuk menjemput Gea dan mengajaknya ke perpustakaan. Sebenarnya, saat saat bertemu, aku ingin bicara banyak hal kepada dia, namun terasa sedikit sulit. Dan aku tak tahu harus memulai darimana. Bahkan, kami tak banyak interaksi, kami sama-sama bingung harus berbicara apa.

Sesampainya kami di perpustakaan, kami menuju tempat biasa kami menghabiskan waktu. Sebab di tempat itu, kami bisa melihat pemandangan kota dari lantai 10. Dan pada akhirnya; walau sedikit terbata-bata, kami mulai menceritakan pengalaman kami selama liburan, karena selama itu pula, kami jarang berinteraksi juga lewat handphone.

Setelah sama-sama saling berbagi cerita dan mendengarkan. Seperti biasa, kami berdiskusi perihal ilmu pengetahuan. Entah kenapa, Ia selalu bisa menjadi teman untukku belajar.
Di luar sedang hujan. "Gea, apakah kamu tahu, kenapa hujan bisa turun, dan apa tujuannya?" Aku memulai pembicaraan.
"Yang aku tahu, hujan dapat turun itu akibat panas matahari yang menguapkan air laut. Hingga terkumpullah butiran-butiran air yang membentuk awan hitam di langit. Dan kemudian awan yang penuh dengan air laut itu tertiup angin sampai ke daratan. Lalu uap air jatuh ke bumi; yang kita sebut sebagai hujan. Kalau untuk tujuannya, aku rasa, agar manusia, hewan, dan tumbuhan dapat hidup dan berkembang."
"Tapi, apakah tujuan itu benar, Gea? Barangkali hujan memiliki tujuan yang nyata; bukan sekadar memberikan hidup untuk makhluk di bumi."
"Entahlah, Dim."
Kemudian ia melanjutkan dengan bertanya padaku.
"...Dim, aku masih penasaran soal pusat alam semesta itu. Yang pernah kau katakan padaku saat kita berada di danau. Nah, aku ingin menanyakan itu kepadamu."
"Maksudmu terkait dengan pusat dari dunia ini?"
"Iya, Dim."
"Ya, memang sebelumnya bumi kita ini lah dianggap sebagai pusat dari alam semesta. Tapi semenjak para filsuf dan astronom itu mengatakan bahwa tidak ada pusat yang mutlak dari alam semesta ini. Maka terpikirkan lah bahwa setiap orang mungkin adalah pusat dari ala semesta. Atau kita bisa sebut sebagai Antroposentris. Namun semenjak Newton dan Galileo membuat gebrakan besar dalam dunia astronomi. Para astronom kemudian sepakat, bahwa pusat dari alam semesta kita ini adalah matahari; bumi tempat kita tinggali ini mengelilingi matahari, dan semua planet di tata Surya ini juga. Jadi bukan Antroposentris ataupun Geosentris, melainkan Heliosentris."

"Berarti, selama ini yang kita anggap matahari yang mengelilingi bumi itu salah?"
Dia kembali bertanya.
"Aku tidak bisa bilang itu benar atau salah. Tapi yang ku ketahui, bahwa bumi lah yang mengelilingi matahari."
Aku menambahkan.
"...proses berpikir juga ada aturannya, Gea."
"Apa itu, Dim?"
"Pertama, data-data empiris itu tertangkap melalui inderawi, selanjutnya, data/inderawi itu berjumpa dengan kategori-kategori Apriori akal budi. Nah, di sini, ada dua pendapat tentang akal budi. Menurut Immanuel kant, akal budi itu berjumlah 12. Sedangkan menurut Aristoteles, akal budi itu berjumlah 10. Setelah data-data itu telah terkumpul, barulah kita mendapatkan konklusi atas sesuatu yang terjadi."

Yah, kurang lebih seperti inilah saat kami sedang berdua; mengobrol. Tak ada yang romantis, hanya pembicaraan yang menurut sebagian orang membosankan. Tapi kami menikmati itu.

"Dim, sebenarnya, aku ingin kamu menyaksikan aku menari saat acara perpisahan pertukaran mahasiswa nanti."
"Kalau begitu aku akan datang."
"Tidak bisa, Dim. Karena orang yang datang terbatas, dan harus ada undangan juga. Aku pikir kamu tak akan pulang cepat, jadi aku tidak mengisi form siapa yang akan aku undang."
"Yah, berarti aku tidak boleh datang, yah?"
"Begitulah, Dim. Tadinya aku punya kesempatan untuk mengajak satu orang. Namun ku pikir, karena kau tidak ada di sini. Jadi aku abaikan itu."
"Maafin aku, ya."
"Tak apa, Dim. Kamu juga gak salah, kok. Kamu juga tetap bisa melihatku, kamu bisa lihat di live streaming YouTube dari channel kampus kamu."
"Iya kah? Kalau begitu aku akan menonton."
"Nanti aku kirim link nya."
"Baik Gea. Terimakasih."

Acara perpisahan pertukaran mahasiswa merdeka diselenggarakan tiga hari sebelum hari kepulangan para pertukaran mahasiswa itu. Jadi, meskipun acara ini selesai, aku dan Gea masih bisa bertemu dan mengucapkan salam perpisahan.

***

Keesokan harinya. Gea mengirimkan pesan kepadaku.
"Dimas, jangan lupa untuk menonton, ini linknya."
"Oke, Gea."
"Acara ini akan dimulai pada pukul 2 siang nanti, ya."
"Baiklah, Gea."

Setelah jam dua. Gea mengirimkan foto dirinya sedang memakai pakaian adat kepadaku.
"Kau terlihat sangat cantik dan cocok memakai pakaian itu."
"...Kapan kamu tampilnya?"
"Nanti Dim, setelah tarian dari daerah Aceh. Baru deh aku."
"Baik, akan aku tunggu."

Beberapa saat kemudian.
"Dim, kini giliran aku. Aku tak bisa balas pesan mu dahulu, ya."
"Iya, Gea."

Setelah aku melihat ia menari, tiba-tiba aku merasakan sedikit sakit di dalam hatiku. Aku berpikir, bukan sekadar tarian yang ia tampilkan. Melainkan itu seperti ritual bahwa nantinya aku tidak akan pernah bisa melihat dirinya lagi; di kampus itu, di kota ini.

Sebuah tarian daerah terkadang diperuntukan untuk menyambut kedatangan seseorang yang spesial. Namun bisa juga sebagai pengiring kepergian seseorang. Dengan gerakan indah dan alunan musik yang membawa ketenangan. Gea bergerak ke sana kemari dengan riang. Menciptakan aksara perpisahan dari setiap gerakannya.

"Kamu hebat, Gea."
"Terimakasih, Dim."

Aku merasakan ada kebahagiaan dan kesedihan yang bercampur di dalam raut wajahnya. Bahagia karena bisa menampilkan yang terbaik untuk perpisahan ini. Kesedihan karena ini adalah akhir dari semuanya.

"Apa kamu merasakan sedih, Gea?"
"Sedih karena apa, Dim?"
"Sebab kamu harus berpisah dengan teman-teman mu sesama mahasiswa pertukaran itu."
"Tidak juga, Dim. Awal nya memang aku berpikir akan merasa kehilangan. Namun akhirnya aku menyadari bahwa sesuatu yang akan dan/atau telah menghilang darimu sesungguhnya tidak akan pernah kembali. People come and go!"
"Itu artinya berlaku juga padaku? Kau juga akan melupakan ku."
"Kamu pengecualian, Dim!"

Aku akan merasa kesepian setelah ini. Tidak ada yang mensupport diriku secara langsung lagi. Tak ada teman berdiskusi, menemani diriku belajar, dan bahkan tak ada teman untukku pergi kemanapun. Ia akan pergi; aku harus bisa merelakannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang