Empat Puluh Empat

152K 12.5K 7.1K
                                    

[ Bagian Empat Puluh Empat ]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[ Bagian Empat Puluh Empat ]

"Apa yang tumbuh, suatu saat pasti akan patah juga. Pahit memang, tetapi begitulah realitanya."

"Jadi sebelum berpisah, mari patah hati."

***

🥀4.3k votes and 3.1k comments🥀

Terima kasih buat kalian semua yang udah bantu ngirim dm kemarin. Part ini beneran ngga bakalan ada tanpa support dari kalian.

Isi part kali ini sebagai hadiah buat kalian yang udah sabar nungguin aku. So siapkan diri kalian, karena part kali ini beneran gila banget. Ah, ya, bacanya sendiri aja ya, this one has a little bit of spicy scene🔥🔥😳

Komentar yang kalian tinggalin apalagi di tiap paragraf bakalan bantu aku banget dalam ningkatin mood nulis cerita ini🥀

***

Sankara terlihat berusaha keras menahan emosinya. Ia menyetir dalam hening yang dibiarkan terpelihara. Buku-buku jari kanannya yang lecet akibat pukulannya tadi, terlihat mengepal kuat stir kemudi. Tatapannya lurus ke depan, menusuk ke arah jalanan. Apa yang dilakukan Sankara saat ini terlihat begitu menyiksa. Pria itu memaksakan diri menekan emosinya. Sama sekali tidak berkeinginan melampiaskan kepada Agnita. Bahkan Sankara masih mengemudikan mobilnya dengan baik.

"Sankara jangan gini ..." Ucapan pelan itu akhirnya keluar dari bibir Agnita setelah keduanya sampai di ruang tengah, dengan posisi Sankara yang berjalan mendahului Agnita, dan wanita itu hanya dapat memandangi punggung sang pria. "Jangan diemin gue kayak gini."

Sankara tetap tak membalas. Pria itu bahkan tak menghentikan langkahnya sama sekali, membuat Agnita akhirnya menyusul dan menahan pria tersebut.

"Kalau lo emang marah sama gue, marah aja! Keluarin semuanya, jangan malah disimpen!" Agnita berseru. "Gue lebih baik dipukul sama lo, ketimbang didiemin kayak gini, Sankara!"

Perkataan Agnita tersebut berhasil mengundang sorot mata Sankara ke arahnya. Tatapan pria itu begitu tajam seolah perkataan Agnita tadi berhasil menyulutnya.

"I deserve that, pukul aja ngga papa," ujarnya kala mendapati tubuh Sankara yang makin mendekat. Kemudian ia memejamkan matanya erat-erat, bersamaan dengan tangannya yang meremas kencang jas milih Sankara yang masih tersampir di bahunya.

Sankara diam cukup lama, memerhatikan perempuan di hadapannya itu. Jujur saja, Sankara tidak mengerti. Ia tidak mengerti kenapa Agnita masih saja meragukan dirinya. Apa dua bulan waktu yang ia berikan masih tidak cukup untuk meyakinkan perempuan itu?

Sebelum BerpisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang