017

6.4K 446 22
                                    

Brak...

Hanya perlu sekali coba untuk membuat pintu itu terbuka. Arson berdiri di depan Devon dengan raut wajah bingung. Matanya menatap lurus pada Devon yang meringkuk dengan tubuhnya yang bergetar. Dia mengernyit bingung, bertanya-tanya apa yang terjadi.

"Devon, lo kenapa?" tanya Arson yang merasa khawatir.

Devon menangis dengan kedua tangan yang menutupi seluruh wajahnya. Arson semakin kebingungan, dia tidak pernah melihat Devon seperti ini sebelumnya.

"Enggak, e—enggak... pergi sana..." gumam Devon di antara tangisannya.

Arson mengambil satu langkah mendekati Devon dengan begitu hati-hati, khawatir kalau pergerakannya akan membuat Devon semakin takut.

Arson mengulurkan tangannya ingin membawa Devon ke dalam jangkauannya. "Dev—"

"Pergi!!!" Devon menjerit dan secara spontan langsung menepis tangan Arson yang menyentuh tubuhnya. "J—jangan pukul Devon. M—maaf... Maafin Devonnya karena udah nakal. Devon j—janji gak akan nakal lagi, tapi... t—tapi jangan dipukul" Suaranya serak akibat terlalu banyak menangis

Arson terdiam. Dia benar-benar kebingungan dengan apa yang terjadi. Kenapa tiba-tiba Devon ketakutan seperti ini?

"Devon..." Arson memanggil dengan suara pelan. Tangannya kembali terulur mencoba mendekap tubuh kecil Devon yang tengah gemetar hebat.

"E—enggak... Lepasin!! J—jangan pukul... Maaf...." Devon berontak kuat, terus mendorong Arson menggunakan kedua tangannya, sambil menangis tersedu-sedu sampai suaranya sering tersendat di beberapa kata.

Namun, Arson tetap tidak menyerah. Dia menahan tangan Devon yang memberi beberapa pukulan kencang. "Gak ada yang mau mukul lo. Hei hei, Devon... Ini gua. Gua Arson. Gua gak bakal nyakitin lo. Coba liat gua dulu!" Arson membingkai wajah Devon dengan kedua tangannya supaya menatapnya.

Devon mengerjap, mata bulatnya gemetar tidak fokus. Secara perlahan, dia mulai melihat Arson, meski matanya penuh dengan binar ketakutan. Di dalam mata Devon, Arson melihat sesuatu yang membuatnya merasa sangat sedih.

Binar mata yang biasanya memancarkan sinar polosnya yang lucu sekarang terasa redup. Ada sedikit rasa sakit yang menyayat hati Arson ketika melihat mata Devon yang terus melirik panik pada sekitarnya, jelas sekali rasa takut terpancar dari mata itu. Jika begini, Arson lebih baik melihat mata bulat itu memicing sinis penuh permusuhan padanya. Dia tidak mau melihat mata itu bergetar takut seperti sekarang.

"Devon, ini Arson. Liat sini, ya..." Kata Arson dengan nada yang sangat lembut. Dengan tangannya, dia menuntun wajah Devon supaya fokus bersitatap dengan dirinya.

"A—Arson?" lirih Devon pelan.

Arson mengangguk kecil. Dia memaksakan senyum ketika Devon menatapnya. "Iya, ini gua. Jangan takut, ya"

"Gak p—pukul?"

Arson membelai wajah Devon dengan gerakan lembut yang seperti sangat berhati-hati, ibu jarinya bergerak menyeka jejak air mata yang tertinggal di pipi Devon, lalu dia menggeleng singkat. "Tenang ya, gak ada yang akan mukul lo"

"Arson" Tidak menanggapi perkataan Arson, Devon malah langsung menubrukan tubuhnya memeluk Arson dengan erat. Dia kembali menangis dalam pelukannya di leher Arson. "Maaf... M—maaf ya Devonnya nakal. Devonnya n—nangis terus... s—soalnya Devon takut"

Arson merasa lega mendengar kalimat Devon yang sudah tidak lagi membicarakan hal-hal aneh, meski dia juga merasa sedih mendengar isak tangis Devon yang sangat pilu di telinganya.

Tangan besar Arson membalas pelukan Devon, memberikan usapan lembut pada cowok yang dia peluk. "Gapapa. Gak perlu minta maaf, lo gak salah" bisiknya lembut.

"Takut... Devonnya takut, Arson"

"Gausah takut, ada gua disini!" Pelukan tangan Arson semakin erat mendekap tubuh Devon yang masih gemetar. Ada perasaan aneh yang menusuk hatinya melihat Devon seperti ini. Rasanya bercampur antara sedih dan marah yang tidak bisa dijelaskan dengan lisan.

Dalam dekapan Arson, Devon hanya mengangguk sebagai tanggapan atas perkataan Arson barusan. Tubuhnya sudah tidak gemetar lagi, tapi tangisnya belum juga berhenti, isakan yang tersisa masih terasa sesak di hati. Seiring dengan itu, usapan Arson juga tidak berhenti. Devon masih merasakan usapan tangan Arson yang menenangkan di punggung belakangnya.

"Udah ya jangan nangis lagi, nanti sakit kepalanya" Tangan Arson merambat naik mengusap kepala Devon dengan lembut.

Pelukan di antara mereka terurai, meninggalkan Arson berlutut di depan Devon yang masih duduk di atas closet. Dia menatap wajah Devon dengan penuh perasaan sebelum tangannya bergerak menyingkirkan poni yang menutupi wajah Devon, kemudian tangan itu berakhir mengusap dengan lembut mata Devon yang sembab karena airmata. Setiap sentuhan Arson begitu lembut, seolah-olah Devon akan hancur jika dia bergerak dengan kasar.

Tangan Arson turun pada dada Devon. Dengan lembut, dia mengusap-usap dada Devon, berharap bisa menenangkan detak jantung laki-laki itu yang berdebar cepat.

"Ini hatinya pasti sesek, ya? Kedepannya lo boleh kasih tau gua apa yang bikin lo takut, nanti gua temenin biar lo gak ketakutan sendirian"

Devon menatap Arson dengan ragu-ragu. "Tapikan—"

"Sstt" Telunjuk Arson menghentikan Devon untuk melanjutkan kalimatnya. "Udah gausah dipikirin lagi. Mending kita ke kantin beli minum yuk?" ajak Arson yang beranjak berdiri.

Devon lagi-lagi hanya bisa mengangguk. Dia segera meraih tangan Arson yang terulur, menggenggam tangannya.

Baru saja dia berdiri, tiba-tiba rasa sakit menusuk lambungnya dengan kuat, sampai membuat dia merapatkan bibirnya erat. Napasnya juga sesak, seperti terjepit di antara dua tekanan yang besar.

"Arson," desis Devon dengan suara serak, mencengkeram lengan laki-laki itu dengan erat.

Arson menoleh dengan alis yang menukik ketika cengkeraman di lengannya terasa menyakitkan karena Devon yang terlalu kuat merematnya. "Kenapa?"

"S—sakit..." Devon sedikit membungkuk sambil memegangi perut. Wajahnya memerah kesakitan dengan alis yang menukik tajam. Sesekali terdengar ringisan lirih yang keluar dari mulutnya.

Melihat itu, Arson langsung bergerak merangkul tubuh Devon. "Perutnya sakit?" Hanya sebuah anggukan kepala yang bisa Devon berikan sebagai jawaban atas pertanyaan yang Arson suarakan. "Lu pasti maag lo kambuh nih. Kita ke UKS ya? Bisa jalan gak?"

"Arson, perutnya... s—sakit banget" Tidak menjawab pertanyaan yang Arson tanyakan, Devon justru berkata hal yang lain. Keringat mulai mengalir deras membanjiri pelipis, alisnya juga semakin menukik tajam karena tidak tahan merasakan sakit di perutnya.

"Yaudah ayo sini gua gendong aja, kita ke UKS" Arson sudah bersiap-siap untuk membungkukkan tubuhnya dan menggendong Devon, tetapi sebelum dia bisa melakukannya, Devon tiba-tiba pingsan. Tubuh Devon jatuh ke dalam pelukan Arson yang bergerak cepat menangkapnya.

"Hei... Devon?" Arson beberapa kali menepuk pelan pipi Devon, tapi tetap tidak ada respon apapun. Devon benar-benar kehilangan kesadarannya.

Arson berhasil dibuat panik. Dengan cepat dia menggendong Devon dan berlari membawanya menuju unit kesehatan.

Secret Innocence [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang