Part 2

20.9K 1.2K 59
                                    

"Lo yakin mau ngasihin ini semuanya?"

Ana mengangguk kecil seraya tersenyum. "Yakin! Ini buku bagus semua, Yas. Gue udah pernah baca dan isinya sangat berkualitas."

Ilyas, pria berkulit coklat gelap dengan rambut nyaris plontos di depannya itu balas mengangguk. Tidak meragukan ucapannya sedikitpun. "Yaudah. Gue cuma kaget aja, soalnya ini 'kan buku mahal. Keliatan dari sampulnya sama judul. Jarang banget ada yang mau donasiin buku baru yang mahal begini."

Ana hanya mengangkat kedua bahunya. Lalu mengecek lagi ketujuh buku yang akan disumbangkan ke anak-anak panti asuhan ataupun rumah baca yang butuh suntikan buku. Memang sih, dia menghabiskan uang lebih dari sejuta rupiah untuk membeli semua buku ini. Tapi, ilmu itu sangat penting dan anak-anak harus mendapatkannya dengan mudah. Tidak boleh ada pengecualian. Dan lagi, Ana baru selesai dari tugas terakhirnya dan belum diperbolehkan pulang sama sekali. Jadi, saat jadwal kedatangannya di markas besar bersamaan dengan kegiatan amal tahunan ini, tanpa berpikir dua kali dia langsung meminta izin pergi ke mall dan membeli buku yang—sekiranya—pernah dia baca dan ketahui isinya.

Sebenarnya Ana juga tidak yakin akan menyumbangkan buku-buku yang ada di rumahnya, karena sepertinya dia masih akan terus membaca mereka. Karena itu, dia pikir kenapa tidak menyumbangkan buku yang baru saja? Toh, tidak ada bedanya.

Ilyas mendata buku-bukunya dan mereka berjabat tangan sebagai tanda sah atau rasa terimakasih. Ana segera pergi dari sana karena orang-orang mulai berdatangan untuk menyumbang. Selain buku atau bahan bacaan, mereka juga bisa menyumbangkan peralatan sekolah ataupun alat musik. Bahkan Ana melihat ada yang menyumbangkan satu set mainan detektif. Taruh saja apapun yang bermanfaat, yang bisa diberikan untuk anak-anak kecil hingga anak usia menengah.

Ana melihat jam tangannya lalu bergegas ke toilet untuk berganti pakaian. Setengah jam lagi, kegiatan utamanya akan dimulai. Celana jeans hitamnya diganti oleh rok span selutut berwarna hijau lumut. Atasan hoodie hitamnya sudah terlepas, menyisakan kaus putih oblong yang ditutup oleh PDU—Pakaian Dinas Upacara—Angkatan Darat. Terduduk di atas toilet, dia melepas sneakers putihnya dan memakai sepatu pantofel hitam dengan heels setinggi lima sentimeter. Setelah itu dia memasukkan seluruh pakaian santainya ke dalam tas gym besar. Ana keluar bilik, mematut diri di depan cermin wastafel. Sekarang, penampilan wajahnya harus dipoles sedikit. Dia mencuci wajah dan mengoleskan gel lidah buaya, lalu terakhir memoles bibirnya dengan lip balm rasa ceri. Rambutnya yang sebatas punggung atas dicepol ketat, menyisakan poni samping yang tidak terlalu panjang.

"Done," gumamnya seraya membereskan barang-barangnya dan melangkah keluar. Dalam perjalanannya menuju Aula Dua, tak henti-hentinya dia membalas sapaan dari para prajurit yang melihatnya. Mereka memberikan ucapan selamat atas keberhasilan timnya dalam operasi terakhir yang diberikan. Ana membuka pintu aula dan tidak begitu kaget melihat seluruh anggota tim sudah duduk di ruang tunggu. Mereka tersenyum.

"Kirain belom balik," ucap salah satu dari mereka.

Ana menaruh tasnya di kursi kosong bagian belakang dan menerima sodoran sebotol air mineral. Menggumamkan kata terimakasih, dia membuka tutup botolnya dan duduk. Memperhatikan satu-satu anggota timnya sambil menenggak air. Duapuluh prajurit—duapuluh satu jika termasuk dirinya, sudah lengkap.

"Habis ini liburan! Yeay!" pekik seorang pria yang duduk di sebelahnya. Mereka semua menyoraki semangat itu. Ada yang ikut senang namun ada juga yang mengeluh karena jatah liburan mereka belum diberikan oleh komandan.

"Ketua sendiri libur atau enggak?"

Ana tersenyum jahil. "Libur dong."

"Huuu! Enak banget!"

Final Masquerade Series (#1) : No One Needs To KnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang