Part 3

16.5K 1.1K 24
                                    

"Dapet promosi?"

Gerakan mengaduk kopinya terhenti sesaat. "Ya begitulah." Lalu Ana melanjutkan kegiatannya lagi. Mereka berdua sekarang tengah duduk berhadapan di taman samping rumah yang berhadapan langsung dengan ruang keluarga. Dia bisa melihat Keira yang menonton acara kartun sambil memakan sebuket es krim Baskin, sesekali tertawa atau berteriak kesal.

Ana mengangkat cangkirnya dan menghidup aroma kopi Flores Bajawa miliknya. Cairannya cukup kental namun aromanya sangat lembut. Dia menyesapnya sedikit, rasa coklat dan vanili yang cukup dominan membuatnya ketagihan. Ana menyesapnya sekali lagi sebelum menaruh cangkirnya dan menatap sang ayah.

"Di Jepang kemarin dapet akomodasi dimana?" tanyanya.

"Ginza Grand," jawab pria tua itu. "Pastikan dulu kalau promosi itu gak jadi bumerang untuk kamu."

Ana mengangguk singkat. Atasannya kemarin memang sempat menyinggung masalah promosi kepadanya, atas keberhasilan misi yang dinilai melebihi ekspektasi mereka. Dia hanya bisa tersenyum simpul dan tidak membawa topik itu lebih jauh. Kalau memang benar mereka akan memberikannya, Ana sudah siap memegang tanggungjawab baru.

"Dan jangan pikirkan omongan Keira. Ayah akan cari cara agar adikmu itu mau menurut."

Mereka berdua sama-sama menatap Keira. Ana belum berkomentar banyak setelah keinginan adiknya itu. Tapi mereka sama-sama tahu kalau Keira serius dengan ucapannya. Anggota termuda di rumah mereka itu punya segala cara agar keinginannya terpenuhi. Dialah ratunya.

"Terserah," jawabnya. "Tapi menurutku, ayah sudah melebihi batas privasi yang bisa Kei terima. Tahun depan umurnya delapan belas dan dia bukan anak presiden. Kenapa harus sampai sekeras itu?"

Ayahnya menghela napas panjang. "Dia bukan kamu. Dia masih belum bisa menjaga dirinya sendiri."

Ana menipiskan bibirnya. "Ayah, sudah kubilang jangan bandingkan kami. Ana tumbuh dengan cara yang berbeda. Kita melihat hal yang berbeda. Seharusnya itulah yang ayah pikirkan sebelum mengucapkan hal yang kurang pantas seperti itu. Tapi, dia juga punya kehendak bebas untuk menentukan apa yang dia mau selagi itu masih oke-oke aja. Pengekangan selalu berakhir buruk, kalau ayah lupa itu."

"Tapi..." suara ayahnya melirih. "ayah serius dengan ucapan ayah yang tadi. Ayah gak akan rela melihat dia terluka. Ayah melihat ada banyak sekali sisi ibumu dalam dirinya. Melihat dia terluka seperti merasakan kehilangan ibumu untuk yang kedua kalinya. Pria tua ini gak akan sanggup. Tapi ayah juga sadar kalau sebentar lagi dia akan tumbuh dewasa, tidak butuh pertolongan orangtuanya lagi. Ayah hanya belum siap di posisi itu."

Ana menggenggam kedua tangan ayahnya di atas meja. "Ayah memang selalu berusaha, tapi kenapa gak istirahat sebentar? Biarkan Ana yang menggantikan untuk sementara. Dan sedewasa apapun kita berdua nanti, kita akan tetap menjadi putri kecil ayah. Kita akan selalu butuh ayah."

Setetes air mata jatuh ke pipi ayahnya. Pahlawan itu terkekeh pelan dan mengangguk untuk membenarkan ucapannya, lalu kepalanya merunduk dalam-dalam hingga dagunya menyentuh dada atas. Bahunya yang kokoh bergetar kecil. Sebelah tangannya yang ditangkup Ana melepaskan diri dan hinggap di atas tautan tangannya. Mereka kini saling menggenggam.

Mereka tetap diam di posisi itu sepanjang sore. Ana membiarkan ayahnya menangis haru dan menemaninya sampai pahlawan dalam hidupnya itu merasa lega. Lalu mereka masuk ke dalam, melakukan solat maghrib berjamaah ketika fajar sudah menghilang dari peraduan. Ana senang bisa kembali melakukan kegiatan ini.

×××

Pintu kamarnya diketuk ketika Ana tengah mengeluarkan pakaian dari dalam tas dinasnya. "Masuk."

Final Masquerade Series (#1) : No One Needs To KnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang