Part 8

12.4K 1K 27
                                    

Reynald tahu ada yang tidak beres dengan Ana walaupun wanita itu mengatakan hal yang sebaliknya. Dia mengikuti Ana terus-menerus dan menanyakan kenapa bisa ada kasa yang menempel di kepala belakangnya. Wanita itu berdalih dan Reynald memaksa akan memberitahu ayah Ana jika dia tidak mau jujur.

"Kepala belakang gue dipukul dua kali sama salah satu dari mereka."

Mata Reynald membulat. "Dan lo cuma ke klinik?! Na, jangan ngeremehin gitu. Kita jelas tahu apa yang bisa terjadi kalau bagian kepala belakang dipukul. Gue gak mau tau! Pokoknya setelah lo sampai di Jakarta, langsung ke RS."

Ana mengiyakan. Reynald memeluk wanita itu sebagai tanda perpisahan dan juga support bahwa semua akan baik-baik saja. Ana terkekeh dan membalas pelukan Reynald. Oh percayalah, dia bahkan tidak panik sama sekali. Kepalanya memang pusing dan ada begitu banyak kemungkinan buruk yang bisa menimpa kepalanya yang berharga ini. Tapi jelas dia tidak mau begitu mengkhawatirkannya. Bukan karena dia abai dengan keselamatan dirinya sendiri, hanya saja kepalanya pusing sekali jika dibuat untuk berpikir keras.

Reynald memanfaatkan kedekatan mereka sebagai rekan untuk bisa mengancam wanita itu agar melaksanakan apa yang dikatakannya. Ana tidak mempan pada ancaman apapun, tapi Reynald membawa-bawa nama ayahnya. Yang mana akan menjadi sangat repot bila Jendral Besar itu tahu.

Ana tidak mau merepotkan siapapun, dia akan mengatasinya sendiri.

Jadi, setelah pesawatnya mendarat di Jakarta pukul 4 sore, dia langsung menuju RS seperti yang dimau Reynald. Dia mendaftarkan diri untuk medical check up seperti biasa. Setelah pemeriksaan fisik dilakukan—melakukan prosedur seperti biasa yang begitu banyak—Ana langsung dibawa untuk Rontgen dan mereka menemukan titik pusat masalahnya.

"Ini," dr. Adya Martana memperlihatkan hasil rontgen miliknya. "ada bagian yang memar di area pukulan, namun tidak hanya itu saja. Ada retakan kecil tak kasat mata yang menyerupai lubang juga disana. Sangat kecil namun memberikan efek pening yang luar biasa. Bisa jadi benda yang digunakan untuk memukul kepala kamu terdapat kepala paku atau benda tumpul lainnya. Sewaktu-waktu pendarahan bisa saja terjadi—kemungkinannya diatas 70%. Saya sarankan untuk menjalani rawat inap."

Ana menyandarkan dirinya pada punggung kursi, mendesah pelan. Sudah menduga bahwa inilah yang akan terjadi. Oke, tidak ada pilihan lain. Mau tak mau dia harus mengabarkan hal ini kepada keluarganya.

×××

"Kakak!" Keira membuka pintu dengan kencang namun tidak dapat mengagetkan orang-orang di dalam kamar rawat. Dia melihat kakaknya bersandar pada bantal dengan kepala yang diperban. Air matanya merebak. Dia berlari menuju Ana dan memeluknya erat. "Kenapa bisa begini? Hiks ... hiks ..."

Ana memutar bola matanya. Padahal dia pernah mengalami hal yang lebih parah dari ini, hanya saja Keira tidak mengetahuinya. "Cuma kecelakaan kecil."

Keira melepaskan pelukannya. "Kecelakaan kecil apanya? Kakak sampai babak-belur gini! Kayak korban tabrak lari," lalu dia kembali menangis.

Ana kembali memutar kedua bola matanya. Lebai sekali. Padahal kepalanya hanya di perban dan tidak ada memar lagi selain di kepala belakangnya.

"Jangan ngerecokin kakakmu, Kei. Ayo kita pulang," kata ayah mereka.

Keira menggeleng kuat. "Gak! Aku mau nginep disini aja nemenin kakak. Mau berangkat kuliah dari sini juga."

Ayah mereka menggeleng pelan atas kemauan keras anaknya. "Oke. Papa mau ketemu dokter dulu. Abis itu balik ke kantor. Kamu jangan berisik dan jangan nakal."

Keira dan Ana menyalami ayah mereka. Yuda tersenyum dan mengelus sebelah pipi Ana dengan sayang dan mencubit pipi Keira sebelum mengikuti Harmanto keluar. Kedua gadis itu memang sudah seperti keponakannya sendiri. Keira menaruh tasnya di atas sofa lalu duduk di samping kasur, memijat kedua kaki Ana.

Final Masquerade Series (#1) : No One Needs To KnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang