Part 25

9.1K 729 55
                                    

Ana menyambungkan video call mereka untuk ditampilkan pada layar proyektor. Karena melibatkan pemetaan medan, maka dia butuh untuk melihat lebih jelas dan lebar tanpa terhalang. Tubuhnya berdiri menjulang di belakang meja kerja dengan tangan menyilang di depan perut.

Pada layar utama, terlihat peta medan yang telah diperbarui—karena ada penambahan area sekitar rumah warga yang berada tak jauh dari hutan, rumah seseorang yang disinyalir sebagai pintu masuk terowongan bawah tanah.

"Info yang didapat oleh Intel menyatakan kalau rumah tersebut adalah milik seorang buruh batu bernama Pak Sepri." Sebuah wajah seorang pria manula sekitar 40'an muncul di tengah layar. Keriput memenuhi wajahnya yang berbentuk kotak. "Dia warga lokal. Sudah menetap disana sekitar 15 tahun. Istrinya sudah meninggal dan memiliki dua anak. Anak-anaknya merantau."

"Bagaimana kesehariannya?"

"Baik. Cukup aktif bersosialisasi. Tidak ada yang mencurigakan. Warga sekitar mengenalnya sebagai orang yang ramah dan pekerja keras. Ah, dia juga bertugas sebagai salah satu panitia ronda."

Ana mengangguk lalu wajah pak Sepri hilang dari layar, kembali kepada peta topografi. Suara Abdul kembali terdengar dan rumah pak Sepri dibuat seperti memancarkan sonar—garis-garis cembung yang memantul mendekati titik A dimana lokasi Camp Terlarang itu berada. "Lokasinya ditarik dari rumah beliau menuju ke titik A. Ada 180 derajat lokasi yang perlu dicek. Permasalahannya adalah ... wilayah yang perlu diradar terlalu luas."

Betul, Ana mengangguk singkat. Ada 10 km ke arah Timur dan 15 km ke Barat. Jika melakukan radar semi-manual akan memakan banyak sekali waktu, dan juga perhatian dari warga sekitar. Akan lebih mudah jika mereka melakukannya di garis start: Rumah Pak Sepri. Itu sama saja mustahil.

"Tim GPR sudah diterjunkan, titik awalnya 5 km dari bibir hutan. Dalam tiga hari kebelakang mereka sudah menyisir 5 km dari titik awal. Hasil: Null. Mungkin ada baiknya kita menambah personil di Tim GPR untuk melacak dari Barat."

"Itu akan memakan cost yang sangat banyak." Ucap Ana. Sebelah lengannya terangkat dan mengelus garis rahang. "Ada berapa orang di tim ini?"

"Tiga orang, Capt. Satu memakai GPR Leica dan satu lagi dengan Drone. Lalu saya sebagai pengawas."

GPR atau Ground Penetrating Radar adalah alat untuk mendeteksi suatu benda atau utilitas yang berada di bawah tanah seperti pipa dan kabel. Base memiliki ketersediaan yang cukup, jumlah normal untuk tiap pasukan. Jika meminta satu lagi? Ana menggeleng singkat, sudah mengetahui jawabannya.

Mata Ana menjelajahi peta, menelisik garis kontur. Lengan kiri yang sejak tadi terlipat menggenggam control panel diarahkannya ke laptop. Menggeser, memperbesar, memperkecil peta. Tidak ada perbedaan warna yang terlalu signifikan ataupun simbol yang mencurigakan. Namun jelas ada garis biru yang artinya aliran sungai. Terletak di sebelah Timur dari Titik A. "Apa ada yang lulusan S1 Geografi di tim kita?"

"Sejauh yang saya tahu, tidak ada, Capt. Namun ada satu rekan lama saya, Letda Suganda, beliau di Divisi VI."

"Bisa sambungkan dia sekarang?"

"Siap, Capt. Dimohon tunggu sebentar."

Sambil menunggu, Ana tetap menatap titik wilayah yang sama; arah aliran air. Menunggu sepuluh menit, satu orang sudah bergabung dalam ruang bicara mereka. Letda Suganda—Ana tidak pernah ingat ada nama itu di timnya, itu artinya beliau tidak pernah berada di bawah komandonya sampai saat ini. Seorang pria kurus jangkung, berkepala plontos—ciri-ciri umum prajurit pria kebanyakan—muncul di tengah layar, sudah memberikan sikap hormat. Ada wajahnya dan wajah Abdul saling bersisian.

"Selamat Siang, Kapten Athena. Letda Suganda siap membantu." Ucap pria itu.

Ana membalas sapaan dan sikap hormatnya. "Selamat siang. Saya harap kami tidak begitu menganggu kegiatan Anda, Letda."

Final Masquerade Series (#1) : No One Needs To KnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang