Nathan melihat kemacetan di depannya dengan gusar. Salahnya karena bangun kesiangan, dia jadi terjebak arus lalu lintas Jakarta yang menghabiskan stock kesabaran. Sialnya lagi, supirnya mendadak terserang diare tepat dua puluh menit sebelum keberangkatan, dia jadi harus menyetir dan menjadi gila seorang diri. Biasanya, kegilaan ini mereka lalui berdua.
Cengkramannya pada setir menguat ketika lambungnya terasa aneh, sarapannya bergejolak di dalam sana. Lalu semenit kemudian dia mual. Mobilnya bergerak dua meter tiap semenit dan ini membuatnya panas dingin karena harus menahan muntahannya yang sudah naik ke tenggorokkan. Oh sial! Nathan melepas sabuk pengaman dan membuka tiap laci dashboard untuk mencari kantung plastik atau apapun yang bisa digunakan untuk menampung isi lambungnya sekarang. Namun nahas, mobilnya bersih. Bahkan tempat sampah mini belum dipasang plastik seperti biasa.
Ini gawat! Tidak mungkin kan dia harus menahannya sampai tiba di kantor?
Ketika mobil di depannya maju, Nathan menginjak gas, untungnya jarak kali ini cukup lebar sehingga dia bisa melihat papan toko waralaba dengan plang biru putih khasnya di sisi lain jalan. Ketika mobilnya berada satu jalur dengan belokan di perempatan, dia langsung menancapkan gasnya cukup dalam dan keluar dari kemacetan. Seratus meter dari perempatan tadi, mobilnya berhasil parkir di toko itu dan kakinya berderap cepat menuju toilet lantai satu. Untung saja toilet itu kosong dan dia tidak harus menunggu, dia berjongkok di depan wc duduk dan menumpahkan isi lambungnya tanpa ditahan.
Setelah dirasa cukup—perutnya benar-benar enteng—dia menekan flush dan mencuci wajah dan berkumur di westafel. Saat itulah dia sadar kalau suhu tubuhnya juga naik. Dia berdecak dan keluar dari toilet dengan langkah gontai. Padahal dia sudah mengikuti semua saran yang diberikan dokter untuk menekan gejala demam. Tapi ternyata tubuhnya tidak se-fit dan sekuat yang dia kira.
Apa dia sudah mulai tua?
Ana memperhatikan gerak gerik pria itu yang melangkah gontai dan akhrinya duduk di kursi kosong samping lemari minuman dingin. Dia membayar makanannya dan melangkah menuju tempat pria itu duduk. Meja bundar dan sisa kursi yang mengelilinginya kosong. Nathan tidak terbangun dengan suara gemerisik paper bag yang dia taruh ke atas meja. Sepertinya keadaan pria ini cukup parah.
Ana memberanikan diri untuk menyentuh kulit lengan Nathan yang tidak terhalang kemeja dan nyaris berjengit ketika merasakan sengatan panas. Nathan demam dan dia masih ada energi untuk berangkat kerja? Wah! Sulit sekali ya menjadi Direktur. Ana jadi berpikir kalau menjadi karyawan biasa lebih menyenangkan dan tidak perlu merasa takut kalau pekerjaannya akan terbengkalai saat dia tidak ada. Orang lain yang akan mengerjakannya. Tapi direktur tidak bisa begitu, sekali saja absen maka pekerjaannya akan menjadi sangat menumpuk.
Dia kembali menyusuri rak makanan dan obat. Saat pria itu melewatinya yang sedang menunggu antrian kasir begitu saja, sangat terburu-buru menuju toilet, dia pikir Nathan mendapatkan panggilan alam yang sangat mendesak. Namun, ketika pria itu keluar dari toilet dengan jeda waktu singkat, langkah gontai dan wajah pucat, dia menyimpulkan kalau Nathan baru saja muntah.
Ana membangunkan Nathan.
"Hei, minum obat dulu, Nath."
Nathan menegakkan tubuh sambil mengerang lirih dan kelopak matanya mengerjap cepat. "Ana?"
Ana menunjuk paper bag di depan Nathan. "Kamu sakit. Aku beliin minuman hangat, obat sama onigiri. Dimakan."
Nathan menatap Ana cukup lama, memastikan kalau dia tidak berhalusinasi. Setelah itu dia mengangguk, meraih paper bag dan mengintip: isinya sebungkus onigiri, sebungkus sandwich, sebotol air mineral, obat masuk angin dan apa isi dari cup mini itu? Nathan mengeluarkannya dari dalam kantung dan mendekatkannya ke bawah hidung, tercium aroma jahe dan lemon yang menyengat kuat. Wedang jahe? Dia meminumnya sedikit-sedikit dan merasakan kehangatan yang nyaman pada lambungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Final Masquerade Series (#1) : No One Needs To Know
Action🆄︎🅽︎🅳︎🅴︎🆁︎ 🆁︎🅴︎🆅︎🅸︎🆂︎🅸︎🅾︎🅽︎ D18+ Kata Titan, dia jenius, dari orok malah. Ya, Nathan tahu dan mengakuinya. Tapi dia tak menyangka bahwa ada yang lebih jenius dari dirinya di Kampus. Gara-gara si jenius itu, dia harus kehilangan mobil li...