Peringatan!
Dalam cerita ini mengandung pembahasan dengan unsur dewasa. Mohon untuk selalu bijak dalam membaca.*
*
*
Perang dingin.
Mungkin itu yang sedang dilancarkan Sybil. Sejak Sabtu sore itu, Daren tidak pernah lagi mendengar suara Sybil. Ketika berpapasan, sang perempuan benar-benar buang muka.
Lelaki itu sendiri tidak mendapat kesempatan untuk minta maaf. Upayanya dengan mengetuk pintu kamar pun sia-sia.
Sybil semarah itu padanya.
Hal itu menjadikan Daren tidak berkonsentrasi saat bekerja. Ia banyak melamun dan tidak menyimak apa yang dikatakan oleh orang-orang di sekitarnya.
"Dokter, kita masih ada dua pasien lagi." Perawat Heidi membuyarkan lamunan. "Setelah dua pasien ini, dokter bebas ngelamun lagi."
Daren nyengir, ia tidak enak pada rekan kerjanya itu karena hari ini bertindak kurang profesional.
Sebisa mungkin, lelaki itu menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Kemudian, ia segera ke ruang istirahat dokter dan duduk di salah satu kursi kosong, kembali bengong.
Sayang, waktu bengongnya harus kembali ditunda ketika nama 'Bunda' tertera di layar ponselnya. Sebuah panggilan masuk yang kemudian membuat Daren tertegun begitu mendengar suara sang bunda di seberang sana.
"Aku kesana sekarang," Katanya.
Lelaki itu dengan tergesa keluar ruangan. Ia meninggalkan rumah sakit, memacu mobilnya dalam kecepatan tinggi di siang menjelang sore ini. Tujuan Daren adalah rumah orang tuanya.
Sampai disana, ia disambut bogeman sang kakak, Mas Gama.
"Kamu..." Gama menggeram. Wajahnya sudah merah padam.
Tidak ada perlawanan. Daren hanya menunduk di depan kakaknya itu. Bahkan, dirinya belum masuk ke dalam rumah, tapi sudah menjadi sasaran luapan emosi.
"Gama!" Bunda datang dan menarik tangan kanan Gama yang hendak melayangkan bogem lagi. "Cukup!"
"Bun... dia... wah!" Tampaknya Gama sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia masuk begitu saja ke dalam rumah. Sementara Daren masih mematung di depan.
"Ayah nunggu di ruang tengah," Kali ini bunda berbicara dengan nada dingin, tidak ada kehangatan sama sekali.
Brak!
Ayah menggebrak meja begitu melihat wajah Daren.
"Memalukan!" Amarah lain harus lelaki itu hadapi. Kali ini, dari sang ayah.
Amarah dan kekerasan bukanlah gaya rumah tangga ayah dan bunda. Sejak kecil, Daren dan Gama dididik untuk saling mengayomi. Namun, belakangan, amarah dan kekerasan menjadi hal lumrah dalam keluarga ini.
Daren sadar, ini semua salahnya.
"Bisa-bisanya ada laki-laki datang untuk minta restu supaya bisa sama kamu!" Ayah bicara lagi.
Hal yang bisa Daren lakukan saat ini adalah mengepalkan buku tangannya.
"Kamu buat malu keluarga! Bahkan, orang tua Sybil sudah tau aib kamu! Mereka marah besar!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Oddly Coupley
Romance"Daripada gue susah-susah cari calon suami yang oke, mending nikah sama lo aja, Ren. Yuk!" Ucapan Sybil dibalas semburan kopi yang langsung membasahi wajah jelitanya. Sementara itu, Daren yang terkejut tidak bisa bicara apa-apa. Otak sahabat yang su...