28

1.8K 213 15
                                    


Keesokan harinya lagi, Febrio tak mau pergi ke sekolah dengan alasan mau menemani Azizi. Dia merasa bersalah karena kejadian kemarin Azizi jadi seperti ini. Andaikan kemarin dia tak berlari menyebrang jalan sembarangan pasti Azizi tidak ikut menyebrang dan berakhir di rumah sakit seperti sekarang.

"Azizi kamu mau aku kupasin pisang ga? Pisangnya enak tau," tawar Febrio yang kini duduk di kursi sebelah ranjang Azizi. Sedangkan orang tua Azizi sedang sarapan, duduk di sofa sambil memantau kegiatan dua anak kecil itu. Azizi sudah bangun sejak tadi pagi-pagi sekali mengeluh perutnya lapar.

"Ndak mau!" tolak Azizi mentah-mentah. Dia masih kesal dengan Febrio yang menurutnya sangat menyebalkan. Sudahlah robotnya dirusakkan, kini yang punya robot pun ikut dirusak sampai terbaring lemah seperti ini.

"Ndak mau sudah, aku makan sendiri aja." Febrio mengambil buah pisang di atas meja lalu memakannya. Niat hati dia ingin menggoda Azizi, tapi Azizi sama sekali tak peduli. Dia malah memfokuskan diri menonton kartun di ponsel. Febrio merengut menyadarinya.

Ceklek~

Pintu terbuka menampilkan orang tua Febrio dengan wajah lelah. Namun, dari raut wajah Papa Febrio, anak kecil itu tau kalau Papanya sedang marah. Jadi setelah kejadian kemarin Anin langsung menghubungi adiknya itu, yaitu orang tua Febrio, menjelaskan apa yang terjadi. Mendengar penjelasan itu, orang tua Febrio langsung memutuskan untuk pulang, meskipun pekerjaan Papa Febrio belum sepenuhnya selesai. Orang tua Febrio menyapa Anin dan Jifnan terlebih dahulu. Febrio turun dari kursi dan memeluk Mamanya mencari perlindungan, dia takut jika Papanya akan memarahinya.

"Maaf baru bisa dateng," kata Papa Febrio tak enak.

"Ga papa, kita tau kalian sibuk," jawab Jifnan santai.

"Gracia mana kak?" tanya Mama Febrio pada Anin.

"Aku suruh pulang tadi. Dia ada kelas pagi juga, jadi harus siap-siap," jelas Anin.

"Sekali lagi aku minta maaf atas perbuatan Febrio. Aku akan memberikan dia pembelajaran lagi," sesal papa Febrio.

"Tidak sepenuhnya salah Febrio, ini semua musibah. Dan anak-anak memang sering ceroboh tidak memperhatikan sekitar jadilah seperti ini," kata Jifnan menanggapi.

"Tapi tetap saja anakku salah. Hufftt~" Papa Febrio mendekati ranjang Azizi dengan paper bag ditangannya. "Azizi, ini om beliin mainan buat Azizi. Semoga Azizi suka ya."

"Wah ini mainan apa om?" Tanya Azizi dengan raut wajah senang. Dia menerima paper bag itu dengan tangannya yang tak sakit. "Makacih ya om, Azizi suka," ucap Azizi walaupun belum melihat isi mainan yang ada di dalam itu.

"Sama-sama. Cepat sembuh Azizi, dan maafin Febrio karena membuat kamu kayak gini," kata Papa Febrio. Azizi mengangguk mengiyakan, walaupun dalam hati dia kesal dengan Febrio, karena sampai sekarang tak ada kata maaf yang Febrio ucapkan.

"Febrio. Ikut papa sebentar." Febrio yang mendengarnya bergidik ngeri. Meskipun terdengar biasa saja, tapi bagi yang sudah tau tabiat Papa Febrio, pasti tau kalau papanya itu mau membicarakan hal serius atau bahkan marah.

"Mamaa," rengek Febrio yang tak mau.

"Febrio," panggil Papanya lagi.

"Sudah, sana ikut papa kamu sebentar," kata mamanya. Febrio mau tak mau akhirnya mengikuti langkah papanya yang keluar dari ruangan. Dia digiring ke dekat pintu darurat yang sepi dari orang berlalu lalang. Febrio menunduk takut saat ditatap menyeramkan oleh Papanya.

"Kamu tau salah kamu apa?"

"Febrio udah berbuat jahat ke Azizi. Febrio udah bikin Azizi masuk rumah sakit," jawab Febrio cepat dengan rasa takut.

"Udah berapa kali papa kasih tau ke kamu, febrio! Jangan jadi anak nakal! Ga cukup kejadian kemarin yang udah bikin kepala temen kamu bocor karena kelakuan kamu yang lempar dia pakek pot bunga?! Sekarang sodara kamu sendiri juga kamu bikin masuk rumah sakit?! Kapan kamu berubah?! Papa cape dengan sikap kamu ini! Apa kamu ga mikir perbuatan kamu bikin malu papa sama mama?!"

"Maafin Bio, Pa hiks~ Bio masih kecil, Bio cuma mau main."

"Masih kecilpun kalau nakal ya harus dikasih tau! Apa lagi sikap kamu udah diluar batas! Kamu apa udah minta maaf ke Azizi?!"

"Belum pa," jawab Febrio pelan.

"Dasar Febrio! Setelah ini Papa ga mau tau kamu harus minta maaf ke Azizi! Dan hari ini kamu ikut Papa, ga ada lagi ngindep di rumah Azizi! Kelakuan kamu udah keterlaluan! Papa harus hukum kamu biar sadar!"

"Papa maafin aku. Aku ga mau dihukum lagi. Maafin Febrio Pa," mohon Febrio disela tangisannya. Dia tak mau lagi dihukun dengan dikunci di dalam kamar dengan keadaan gelap. Gelap itu menyeramkan baginya.

"Simpan saja tangisanmu nanti! Sekarang minta maaf ke Azizi!" Tangan Febrio ditarik kembali ke ruangan Azizi. Orang-orang di sana kaget melihat Febrio yang kembali dengan derai air mata, masih menangis. "Sana," suruh Papanya.

Febrio bergegesa mendekat dia menaiki kursi dan duduk di ranjang Azizi. "Azizi maafin aku hiks~ aku sadar aku salah. Maaf karna udah bikin kesel kamarin, maaf udah bikin kamu sakit dan maaf karna aku udah nakal ke kamu. Aku akan ganti robot kamu yang aku rusakin, aku janji. Aku minta maaf Azizi huhuhu~" ungkap Febrio dengan susah payah karrna tangisnya tak kunjung berhenti malah semakin deras.

"Cup cup cup, iya Bio, aku maafin. Aku juga minta maaf kalau suka malah-malah ke kamu. Udah aku ndak papa kok. Aku kuat, ini luka kecil ndak sakit kok. Cup cup, kamu jangan nangis lagi," jawab Azizi sambil menenangkan Febrio.

"Makasih Azizi." Azizi mengangguk lalu mereka berpelukan. Semoga setelah ini mereka menjadi akur.

Sebagai tanda permintaan maaf keluarga Febrio yang menanggung semua biaya pengobatan Azizi. Meskipun orang tua Azizi menolak, tapi mereka tetep kekeuh ingin membiayai sebagai rasa tanggung jawab. Akhirnya keluarga Azizi pasrah.

Setelah semua selesai, karena orang tua Febrio tidak bisa lama, maka mereka memutuskan untuk pulang dengan Febrio. Hari itu adalah hari terakhir Febrio menginap di rumah Azizi. Setelah ini tak ada lagi yang mengganggu ketenangan Azizi saat di rumah.





















Besok nyoblos nihhh...

Dah gitu aja maap buat typo.

Bocil Kematian [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang