Emma berulang kali mencoba menelpon Seraphina. Akan tetapi, nomornya tak kunjung aktif ataupun menjawab. Setelah panggilan semalam usai, Seraphina tak mengabarinya lagi. Hal tersebut membuatnya cemas karena ia tahu Seraphina sedang berada dalam keadaan yang tidak cukup baik.
Dari luar restoran Felix segera berlari kecil menuju meja di mana kekasihnya berada. Beberapa saat lalu, tepat di jam makan siang tiba Emma menelponnya dan memintanya untuk segera datang.
"Sayang, ada apa?" tanya Felix khawatir pada si perempuan berdress mini.
"Ayo kita ke apartemen Piu! Dia tidak bisa dihubungi sejak pagi dan—" Perkataan Emma terhenti saat melihat Felix menghela napas sambil tersenyum, membuatnya merasa cukup kesal.
"Mengapa kau malah tersenyum?" tanya Emma cukup galak.
Pria yang masih mengenakan jas dokter itu kemudian membuat kekasihnya kembali duduk, begitu juga dengan dirinya. Mereka berada di restoran dekat rumah sakit tempat Felix bekerja, karena itu Felix bisa tiba lebih cepat. Mereka memang sudah memiliki janji untuk makan siang bersama setelah Emma menyelesaikan kelas kuliahnya.
"Dengar. Tenanglah dulu," ucap Felix sembari mengusap lembut wajah Emma. "Seraphina mungkin sedang bekerja di rumah makan Bu Amy."
"Tidak. Kemarin dia bilang—"
"Elsiff tidak membiarkannya pergi atau berhenti bekerja. Itu sungguhan. Semalam, Elsiff menceritakan semuanya, termasuk kejadian hari kemarin kepadaku. Dia penasaran tentang apa yang sebenarnya dialami Seraphina," jelas Felix sembari memegang tangan Emma yang sudah mulai tenang.
"Dan kau mengatakan semuanya?" tanya Emma dengan mata melebar. Cukup khawatir.
"Aku adalah seorang dokter, ingat? Seraphina pernah menjadi pasienku. Tidak baik mengumbar informasi tentang pasien," ujar Felix sembari tersenyum, membuat Emma kembali bernapas lega.
"Tetapi bagaimana bisa Piu langsung setuju kembali bekerja dengan Tuan Elsiff?"
"Aku menyarankan Elsiff untuk kembali membicarakan masalah pekerjaannya secara baik-baik dan juga membujuk Seraphina," jawab Felix lalu menyedot minuman milik sang kekasih. Emma menghela napas menanggapi perkataan itu.
"Ciri khas seorang Piu. Selalu mengalah demi kebahagiaan atau kepentingan orang lain. Padahal, di hari-hari sebelumnya dia menemui beberapa orang yang telah mengusik hidupnya." Emma cemberut dan merasa sedikit kesal dengan karakter temannya itu yang tidak pernah berubah.
"Seraphina bertemu siapa saja?" tanya Felix penasaran. Ia juga sudah mengenal Seraphina cukup lama seperti Emma. Hanya saja memang tidak dekat. Jadi, karena itu ia hanya mengetahui beberapa hal.
"Piu tak sengaja bertemu mantan kekasih, sepupu, dan teman sekolahnya saat sekolah menengah dulu. Bajingan gila itu juga masih menerornya. Belumlagi yang terbaru, Nevara. Jadi, karena itulah aku cukup panik. Semalam Piu bilang akan kembali mengabariku setelah tiba di huniannya. Akan tetapi, sampai detik ini dia tidak juga bisa dihubungi," jelas Emma dengan menggebu-gebu. Ia tahu apa yang sebenarnya dulu terjadi kepada Seraphina dari mulut sang sahabat sendiri.
"Sekarang aku mengerti," ucap Felix sembari mengangguk-anggukan kepala. "Jika luang, mungkin nanti dia akan mengabarimu. Tenang dulu saja, kurasa Elsiff memberinya jadwal padat. Kali ini Elsiff juga pasti akan mengawasinya."
"Ya, kurasa—tunggu!" Emma menyipitkan mata, ketika melihat sepasang muda-mudi yang baru saja memasuki restoran. Ia mengenal salah satunya. Felix lantas menoleh ke arah yang ditatap Emma.
"Bukankah itu Lyle? Dia selebritis sekaligus sepupu yang dihindari Seraphina, bukan?" tanya Felix memastikan. Emma mengangguk.
"Benar. Aku hanya sedikit terkejut. Lelaki yang sedang dia gandeng dengan mesra, aku rasa, aku seperti pernah melihatnya di suatu tempat," ucap Emma sembari masih terus mengingat-ingat. Lyle dan lelaki berpenampilan kasual itu terlihat begitu saling melekat satu sama lain.
***
"Itu sungguh tidak terduga," ucap Seraphina seraya mengendarai mobil untuk menjemput Jaq.
Tatapan Seraphina terarah lurus ke jalanan. Ia masih memikirkan permintaan Bu Amy kepadanya beberapa saat lalu, juga penjelasan tentang beberapa hal.
Seraphina baru tahu jika alasan utama Bu Amy mendirikan rumah makan yang tidak terlalu besar adalah karena lingkungan yang kurang menyukai keluarganya. Sejak kasus pembunuhan yang terjadi pada ayah Jaq yang dilakukan oleh sang istri, keluarga Bu Amy dijauhi dan digunjingkan masyarakat. Kejadian lima tahun yang lalu itu sungguh membawa kesedihan dan rasa sakit yang membekas sangat dalam, terutama kepada diri Jaq.
Hal itu pula yang menjadi salah satu alasan mengapa Bu Amy hanya memiliki sedikit pegawai. Itu pun hanya kenalannya. Bu Amy tidak bisa mempekerjakan sembarangan orang, karena dulu pernah ada sekali seseorang yang hendak bekerja bersamanya. Akan tetapi, pada kenyataannya hanya ingin berniat buruk kepada keluarga Bu Amy. Orang itu hanya menjadi penyebar gosip.
Sama hal seperti sang ibu, Elsiff pun melakukan hal yang sama. Ia tidak memilih sembarang orang untuk dipekerjakan, demi menjamin keselamatan keluarganya. Oleh karena itu, saat Bu Amy merasa cocok dengan Seraphina, ia tidak ingin melepaskannya begitu saja. Ia bahkan sampai membujuk Elsiff agar membujuk Seraphina untuk tetap bertahan.
Bu Amy juga mengetahui tentang awal pertemuannya dengan Elsiff yang menjadi sumber masalah bersama Nevara. Wanita paruh baya itu sampai meminta maaf berulang kali ketika Seraphina mulai kembali bekerja. Kemudian, menyampaikan suatu hal yang cukup sulit diterima, karena Seraphina merasa itu seperti sesuatu yang tidak mungkin terjadi.
"Ini sudah hampir lima belas menit setelah bel pulang berbunyi," ucap Seraphina sembari memeriksa jam di pergelangan tangan. "Aku juga harus mengantar Tuan Elsiff ke suatu tempat."
Seraphina tidak bisa menghubungi Jaq ataupun langsung masuk ke dalam lingkungan sekolah. Ia hanya berdiri di luar dekat gerbang sembari sesekali melongok ke dalam, memeriksa apa Jaq sudah tiba atau belum. Sebagian besar pelajar masih berhamburan keluar dari kelas.
"Si Pecundang itu akhir-akhir ini mulai melawan. Akan tetapi, untunglah kita masih bisa memerasnya!" Seorang remaja berpenampilan urakan yang berjalan dengan kawanannya berseru penuh kekesalan.
"Kau benar. Sorot matanya terlihat menikam, tetapi dia pada akhirnya hanya mengangguk seperti anjing penurut!" Kawannya yang lain menimpali, kemudian mereka tertawa terbahak-bahak bersama.
"Jaq yang malang," timpal lainnya.
Mendengar nama itu disebut Seraphina menoleh ke arah sekawanan remaja urakan itu. Mereka remaja yang sama yang ia lihat menggandeng Jaq tempo hari lalu.
Saat Seraphina nyaris menyentuh bahu salah satu di antara mereka, Jaq tiba. Lebih mengejutkannya, ada noda merah di seragam putih Jaq. Meskipun hanya setitik, tetapi Seraphina yakin itu darah. Apalagi, di hidung Jaq pun terdapat memar yang cukup jelas.
"Oh, Jaq! Kau kenapa? Apa yang terjadi?" tanya Seraphina cemas.
"Ayo kita pulang!" Jaq memalingkan wajah dan bergegas memasuki mobil.
Seraphina pun lantas mengikuti. Ia tidak langsung maju, tetapi lebih memilih menoleh ke arah Jaq berada dan menatapnya penuh kecemasan.
"Apa kau dirundung?" tanya Seraphina tegas. Jaq masih memalingkan wajah dan bergeming dengan raut wajah yang penuh kekhawatiran dan kebingungan yang tidak bisa disembunyikan.
"Jaq! Jawab—"
"Untuk apa aku harus memberitahukan apa yang terjadi kepadaku pada seseorang yang hanya akan sekadar singgah beberapa saat dalam keluargaku, kemudian pergi begitu saja?" Jawaban yang Jaq berikan tepat mengenai hati.
Seraphina tidak dapat mengatakan apa pun. Akan tetapi, setelah beberapa saat kemudian ia tertegun. Ia berusaha memahami kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Jaq. Apa hal tersebut sama dengan seperti yang ia duga?
###
Jangan lupa tinggalkan jejak 😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Daily Of Seraphina
General FictionRATED 17+ "Rasa sakit itu bukan hanya cerita, luka itu bukan hanya ilusi, dan kerapuhan itu bukan bohong belaka. Aku hanya tak ingin mengumbarnya, karenanya kudekap sekuat tenaga dan jiwa." Seraphina