018

6.6K 426 21
                                    

Arson menunggu dengan panik di samping bangsal rumah sakit. Ternyata UKS saja tidak cukup untuk menangangi Devon. Cowok itu membutuhkan penanganan dokter yang lebih memadai, maka guru petugas UKS menyuruh untuk membawa Devon ke rumah sakit terdekat.

Setelah tadi Arson berlarian panik di koridor rumah sakit. Disini lah dia sekarang, berada di salah satu ruang inap rumah sakit, duduk dengan tegang menunggu Devon untuk bangun. Dokter baru saja meninggalkan kamar itu setelah memeriksa kondisi Devon. Dia berkata bahwa Devon akan segera bangun.

Namun, perkataan dokter itu tidak cukup menenangkan Arson yang masih saja diserbu rasa khawatir. Satu tangan besarnya menggenggam tangan Devon yang lemas, sementara tangan satunya menyentuh wajah Devon dengan penuh kelembutan, seolah hal itu bisa mengusir semua gelisah yang menghantui hatinya.

Damai sekali rasanya melihat Devon yang sedang tertidur. Wajahnya sangat manis, seolah-olah Tuhan sedang bahagia saat menciptakan sosok laki-laki ini. Devon terlihat begitu polos seakan tidak pernah tersentuh oleh dosa sedikitpun.

Arson kembali merasa marah mengingat kejadian hari ini. Semua yang terjadi pada Devon hari ini membuat dia marah.

Manusia kecil seperti Devon tidak seharusnya mendapat perlakuan seperti ini. Arson berpikir seharusnya dia bisa melindungi Devon sejak lama. Selama ini dia bermusuhan dengan Devon. Tidak jarang mereka bertemu, bertarung dan beradu senjata di tempat tawuran, tapi selama itu juga dia tidak tau bahwa Devon memiliki sisi seperti ini yang laki-laki itu sembunyikan.

Beberapa hari ini, Arson sering memperhatikan Devon. Terlihat bahwa Devon lebih tenang, berbeda dari saat mereka terlibat dalam tawuran. Jika mereka tawuran, Devon cenderung menjadi provokator dengan ucapannya, tapi sebenarnya Devon memiliki banyak ketakutan di balik sikapnya itu.

Arson terus memperhatikan Devon yang masih memejamkan matanya. Manis. Kata yang tidak bisa terlewatkan setiap kali melihat wajah Devon. Wajah yang berhasil membuat Arson jatuh cinta.

Ya, di detik ini Arson telah menetapkan hati bahwa dia jatuh cinta pada ketua geng musuhnya itu.

Arson tidak bisa menolak ataupun bersikap denial pada fakta bahwa hatinya sudah terisi penuh oleh Devon. Bukan sekedar rasa penasaran saja, tapi lebih dari itu, dia ingin melindungi Devon, membawanya menjadi miliknya untuk dia jaga.

"Eugh..."

Satu lenguhan kecil dari Devon sudah cukup untuk membuat lamunan yang ada di kepala Arson buyar. Dia menatap Devon yang pelan-pelan mulai membuka matanya, beberapa kali berkedip sebelum bola mata berwarna coklat itu terlihat sepenuhnya.

Arsok dengan sigap langsung bangun dari duduknya, menggapai Devon dengan sentuhan lembut. "Hei, perutnya sakit gak?" tanyanya sambil mengelus perut Devon.

Devon yang ditanya hanya menggeleng kecil sebagai jawaban. Matanya menatap sekeliling, memindai tempatnya berada. Kemudian tatapannya jatuh pada tangan kanannya yang tertancap jarum infus. "Kita di rumah sakit? Kenapa gak di UKS aja?" tanyanya.

"Iya. Gua bawa lo ke rumah sakit soalnya UKS gak bisa nangangin lu yang pingsan, jadi kata gurunya mending langsung dibawa ke rumah sakit biar dapet penanganan dati dokter" kata Arson menjawab.

Arson memberikan Devon minum, sebelum dia bergerak membukakan sebungkus biskuit bulat rasa susu yang tadi sempat diberikan oleh perawat. Menyodorkan satu keping pada Devon untuk langsung dimakan. "Makan ini dulu ya! Nanti kalo gak mual gua beliin bubur"

"Gak mau bubur, gak suka, rasanya benyek..." kata Devon pelan.

"Terus maunya makan apa?"

"Nasi padang"

Secret Innocence [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang