"Kenapa?" tanya Kalea yang tengah makan makanan yang disiapkan oleh Mama Zea. "Rey call gue, bentar ya." Zea izin keluar rumah untuk mengangkat panggilan cowok itu, dirinya lupa membalas pesan.
"Zea darimana kenapa enggak bales pesan Rey?"
"Maaf, ini di rumah ada Kalea sama Givic. Kalea abis kasih kejutan ke Zea, karena kemarin dia belum kasih Zea hadiah, baru sempet sekarang."
"Zea pasti senang."
"Senang banget!" jawabnya sungguh. Rey tertawa kecil. "Yaudah nanti kalau mau bobo kabarin Rey ya, biar Rey temenin. Sekarang Rey tunggu Zea, kalau sekarang Rey enggak mau ganggu waktu Zea."
"Rey enggak pernah ganggu Zea. Bentar ya bocil, palingan bentar lagi Kalea pulang kok soalnya Givic gapernah bolehin Kalea keluar malam-malam. Rey tau sendiri seposesif apa pacar Kalea. Yaudah Zea balik ke ruang tamu lagi ya Rey." Setelah menutup panggilan, Zea kembali bergabung dengan Kalea yang sibuk berdebat dengan Givic.
"Kenapa lo berdua?"
"Ini loh Ze, gue kesel banget sama Givic, kita beda pilihan capres!" gerutu Kalea mengingat tanggal 14 Februari nanti akan ada pemilihan Presiden, namun Givic masih tetap memilih 01. Kenapa coba enggak 02 saja?
"Bodo amat, kalau kamu gak pilih 02 putus aja."
Givic menggeleng keras. "Kenapa gitu? Givic gamau lah."
"Putus-putus, dipikir nunggu balikan sama kamu dari SMP gampang?"
Keduanya memang mantan yang kembali bersama setelah 3 tahun asing, baru kembali bersama sejak satu tahun lebih ini. Hal itu tak ingin Givic sia-siakan, dia tak akan pernah melepaskan apa yang sudah kembali dia genggam. "Lagian," sinis Kalea.
"Gue setuju sih sama Kalea, mending lo cari cowok lain yang pilihan capresnya sama si," kompor Zea yang langsung mendapat tatapan sinis oleh Givic. "Pulang aja yuk, kamu mah gitu."
"Pulang aja sendiri, Kalea mau nginep di rumah Zea aja." Mendengar ucapan Kalea, Zea mendelik, pasalnya Rey sudah menunggu dirinya untuk meminta call. Kalau Kalea tidur di sini, tidak akan bebas. "Mending lo balik aja ke kost hehe, gue mau sleepcall," jujur Zea.
"Tai ah! Semua orang ngeselin."
Sepulangnya Kalea dan Givic, Zea segera lari ke kamarnya mengangkat panggilan dari Rey. Berbicara banyak hal sampai tak sadar sudah menunjukkan pukul 12 malam.
"Jadi kenapa Rey cuman tinggal sama Nenen?"
"Rey enggak suka berantem Zea, Rey enggak suka keributan, berisik, kasar. Orang tua Rey gapernah gak ribut, sampai akhirnya Rey mutusin keluar rumah dan tinggal sama Nenek. Rey juga punya Kakak cowok, tapi Rey udah gapernah dengar kabarnya lagi. Dia masih jadi kesayangan Ayah Ibu, tapi Rey? Ditanyain kabarnya aja enggak. Rey gapernah tau kenapa orang tua Rey gapeduli ke Rey, tapi Rey tetap sayang ke mereka. Gimanapun mereka, mereka orang yang udah ngerawat Rey dari bayi, walau sekarang Rey harus berdiri sendiri."
Fakta yang barusan Zea dengar berhasil menyentil hatinya, rasa sesak kian hadir mendengar nada suara Rey yang gemetar saat bercerita. "Rey pengin kayak anak-anak diluaran sana Zea, Rey pengin ditanyain kabar, Rey pengin dipeluk. Tapi enggak pernah Rey rasain."
"Hei, sakit banget ya? Rey boleh nangis, boleh banget. Tapi cuman kalau sama Zea, oke?" Zea menahan suara tangisnya. Apa yang Rey rasain seakan bisa dirinya rasakan. "Dapetin keluarga yang cemara susah banget ya Zea? Rey cuman punya Nenek, yang selalu peduli ke Rey."
Tangis Rey pecah, malam ini cowok itu tak bisa harus berpura-pura kuat lagi, Rey tak sanggup menahan air mata yang selama ini ingin dikeluarkan. Perasaannya terlalu sakit untuk menahan semua ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
HTS?! [SELESAI]
Ficção Adolescente"Bocil." "Bocil? 17 tahun lo bilang bocil?" "Iyalah, lo masih 17 tahun. Sedangkan gue bentar lagi 19 tahun. Lo masih terlalu kecil." "Gapapa umur 17 yang penting bawahnya gede." Damn. Bukan cerita tentang anak geng...