Wedding Invitation

281 23 3
                                    

"INGET RUMAH JUGA KAU KOMANDAN!!"

Suasana menegang kala Saddam berteriak dari lantai atas. Alan yang keluar dari kamar mamanya terkejut hingga jantungnya berdetak tak karuan mendengar teriakan Saddam yang sukses memekakkan telinganya.

"Kamu dirumah? Mengapa tidak menyambut saya?" ucap Alan melihat ke arah atas.

"Harus emang? Kau perlu tari gelombang begitu? Atau mengharapkan upacara sakral pake sesajen untuk menyambut kepulangan mu?" Saddam memperagakan tarian gelombang membuat Alan berdecak.

Sedetik kemudian Saddam sudah menuruni tangga. Ia diam sejenak di ujung tangga sebelum akhirnya memberi hormat layaknya ia memberi hormat pada atasannya.

"Selamat karena masih hidup manusia yang mirip patung liberty!" teriak Saddam lantang meledek Alan.

"Saya bunuh kau!" seru Alan memburu Saddam dengan kepalan tangannya kemudian melayangkan kakinya pada bagian belakang tubuh Saddam.

"MAMA! IBLIS KEMBALI. SAYA AKAN MATI!" teriak Saddam sedikit drama. Namun sejujurnya pukulan dan tendangan yang menurut Alan pelan itu cukup menyakitkan bagi Saddam.

"Memang brother yang buruk!" gerutu Alan melihat kelakuan Saddam yang memang sering memancing kekesalannya.

"Kamu tidak dinas?"

Saddam yang berjalan menuju dapur menggeleng, "Libur."

"Demi—?"

"Halu!" seru Saddam membuat Alan menatap sinis padanya. "Jangan berimajinasi bahwa aku sengaja libur untuk menyambut kedatangan mu."

"Dia dinas dimana mama?" tanya Alan kala melihat mamanya keluar menyusul putra-putranya.

"Rspad Gatot soebroto."

"Loh di rumah sakit juga?"

"Ya saya dokter. Ya kerja di rumah sakit lah. Nggak mungkin kerja di dasar laut, aneh aneh saja." sarkas Saddam melebarkan matanya pada Alan seraya berkacak pinggang.

"Jangan buat saya kasar kepadamu, Saddam. Kalimatmu terdengar tidak sopan!" ancam Alan membuat nyali Saddam menciut. Ia benar-benar takut pada Alan.

Jarak umur yang jauh, juga ketegasan Alan membuat Saddam tak sanggup jika harus melawan kakaknya. Sekalipun ia lebih kekar dari abangnya.

* * * * *

Alan menatap gedung pencakar langit di depannya kini. Sungguh tak disangka, bahwa gedung megah didepannya itu ternyata sudah banyak berubah. Itu tandanya kejayaan kakeknya sudah berkembang pesat sejak ia meninggalkan Indonesia.

Alan jauh-jauh datang ke perusahaan kakeknya karena ada sesuatu yang ingin ia bicarakan dengan kakeknya. Begitu banyak yang perlu dibicarakan, Alan begitu ingin menemui lelaki tua yang kepalanya sudah dipenuhi dengan bulu putih itu. Jujur, sebagian dirinya ingin menunjukkan betapa hebatnya dirinya sekarang setelah dulu kakeknya mengabaikan permintaan bantuan atas kemiskinan yang melanda keluarganya.

Alan sekarang sudah sukses, sudah bisa menghidupi keluarganya. Hutang keluarganya pun sudah lama berhasil ia selesaikan. Gajinya di kanada bahkan tidak main-main. Menjadi data scientist di negara itu sangat memuaskan. Kanada termasuk negara dengan gaji tertinggi untuk profesi data scientist. Kini, kakeknya tidak akan bisa menginjak nya lagi.

Scheld' Corp.

Logo besar yang tertempel kuat di dinding gedung kala telapak kakinya berpijak pada lantai gedung itu. Tak bisa dipungkiri betapa hebatnya kepemimpinan kakeknya dalam memimpin perusahaan hingga menghasilkan karyawan yang sangat banyak.

Hold Me Thight [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang