Menyesal?

244 28 13
                                    

"Dokter Saddam? Dan.."

"Alan."

Alivia mengangguk kecil.

"Bisa bicara sebentar?"

Dara lantas berbisik, "Aku duluan deh. Ku tunggu di atas ya." ucap Dara pamit meninggalkan Alivia.

Alivia masih berdiri disana memandangi kedua pria yang kini tampak gugup menatapnya. Alivia memandangi kedua pria di depannya bergantian, ia seakan menunggu agar keduanya membuka obrolan.

"Dokter Alivia, ingat saya? Saya yang beberapa waktu lalu berada di toilet bersama dengan papa, pasien penusukan di hotel." Penjelasan Saddam membuat Alivia tersentak, ingatannya kembali.

"Terkait kejadian penyerangan beberapa waktu lalu. Kami minta maaf jika dokter dilibatkan kepolisian dalam kasus ini. Dan kami juga mau berterima kasih atas usaha dokter dalam membantu menangani papa saat itu. Jika saat itu dokter nggak ada, kami mungkin nggak tau keadaan papa sekarang." jelas Saddam menunjukkan wajah tulusnya.

Alivia benar-benar menghargai itu, wajah yang lebih muda itu tampak lebih lucu ketika ia meminta maaf.

"Apa benar kamu dipanggil pihak kepolisian terkait penyerangan itu?" tanya Alan dengan santainya. Saddam sontak menyenggol abangnya.

Ah si wajah tua merusak!

"Abang!!"

"Diam saja, saya hanya memastikan." bantah Alan.

Senyum Alivia langsung pudar. Ternyata mereka tidak benar-benar tulus meminta maaf.

Alivia tersenyum miring, "Memastikan apa? Memastikan bahwa aku benar benar bekerja sama dengan pelaku penyerangan kemarin? Bukankah itu yang ingin kalian pastikan?"

Mereka termangu, merasa bersalah. Alivia memang memamerkan senyumannya namun terlihat ada kekecewaan di wajahnya.

"Saya hargai permintaan terimakasih mu dokter Saddam. Ya, terima kasih sudah mau mencari saya untuk mengatakan hal itu. Walaupun pada akhirnya saya dicurigai ya." Alivia mengangguk-angguk seakan menyimpulkan sesuatu. "Kalo begitu saya permisi, karena harus menengok pasien lagi. Saya harap ini menjadi pertemuan kita untuk terakhir kalinya. Jujur, saya tidak ingin lagi dibawa bawa dalam masalah yang tidak hubungannya dengan saya. Saya doakan papa kalian selalu diberi kesehatan dan keselamatan."

Alivia pergi secepatnya. Mood nya mendadak hilang kala ia berhasil pergi. Hatinya rasanya sakit, saat niat baiknya dibalikkan menjadi sebuah tuduhan keji.

Saddam tak bisa berkata-kata. Ia tidak menyangka jika Alivia akan mengingat namanya, bahkan Alivia memanggilnya dokter.

Alan menyentil dahi Saddam, "Bukan saat nya untuk terharu sekarang. Dia jelas menunjukkan kemarahannya lewat senyuman palsu itu. Bagaimana?" Alan cemas.

"Salah abang! Kau berdua sama bang Lewis yang menciptakan spekulasi jahat itu."

Padahal Rossa meminta mereka untuk mengucapkan terimakasih lalu mengajak dokter Alivia untuk bertemu orangtuanya karena papanya ingin berterimakasih langsung pada Alivia. Namun apa daya, obrolan mereka malah membuat Alivia tak ingin bertemu lagi dengan keluarga Khaliq.

* * * * *

Alan dan saddam kembali ke ruang inap papanya. Alan terus memasang wajah masam sepanjang perjalanan menuju kamar inap papanya. Ada perasaan tidak nyaman disana.

"Assalamu'alaikum." ucap Saddam masuk lebih dahulu.

"Waalaikumsalam. Mana dokter Alivia? Kalian nggak membawanya?" Rossa memperhatikan keduanya. Ia bahkan berharap ada seseorang yang berjalan di belakang mereka. Namun nihil, mereka hanya datang berdua tanpa kehadiran Alivia.

Hold Me Thight [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang