Penyerangan

220 19 9
                                    

"Mama yaya, gi mbuh. Gigi mbuh mama yaya."

"Mama yaya lempal cini bolanya bial aku tangkap."

"Mama yaya nanti beliin oen mobil mainan ya?"

"Mama yaya kelja telus, bial oen bisa beli mainan ya?"

"Mama yaya oen cayang mama yaya."

Memori terindah yang selalu menempel di ingatannya. Setiap moment yang dialami bersama pria kecil itu, perkembangan yang terjadi pada Owen selalu berputar di kepalanya. Tak bisa dipungkiri, kebahagiaan satu-satunya hanyalah malaikat kecil yang kini menjadi sumber kecemasan dirinya.

Bulir air mata jatuh perlahan kala ia menunggu sang malaikat kecil membuka mata. Berkali-kali lirikan matanya jatuh pada benda kecil yang melingkar di tangan kecilnya. Tak satu detik pun ia lewatkan untuk mengintip dari celah kecil jendela. Pria kecil begitu tenang, hingga mungkin ia tak sadar bahwa sang ibunda menunggu nya di luar ruangan dengan gugup. Saat Alivia bergelut dengan ketakutannya, seseorang keluar dari ruangan hingga membuat Alivia bangkit segera.

"Bagaimana, sus?"

Yang ditanya pun tersenyum, "Sudah selesai. Sekarang Owen sedang beristirahat sejenak. Dokter Alivia mau ke dalam?" Alivia mengangguk antusias.

"Baiklah, silahkan."

Alivia langsung masuk ke dalam ruangan tempat Owen menjalankan kemoterapi. Ia melihat Owen terbaring lemah disana. Efek kemoterapi benar-benar membuat anak berumur 4 tahun itu kelelahan.

Alivia mendekati bangsal Owen. Ia elus lembut kepala pria kecil itu yang kini nyaman berbaring. Air matanya makin deras keluar kala melihat Owen tersentak pelan menahan rasa tidak nyaman pada tubuhnya.

Alivia menghapus air matanya segera. "Owen mual nak?" tanya Alivia membuat Owen membuka mata perlahan.

"Ma.. Ya-yaya." panggil Owen lemah.

"Iya, nak. Owen mual ya?"

Owen mengangguk samar. Alivia dengan cepat mendudukkan Owen dengan pelan. Setelah Owen duduk, ia menahan punggung Owen dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya menampung muntah Owen di tempat yang telah disediakan. Barulah Owen memuntahkan semuanya, yang hanya terdapat cairan bening seperti air.

Setelah puas, Alivia langsung memberikan air putih pada pria kecil itu untuk memberikan kenyamanan pada kerongkongan Owen. Kemudian Owen kembali dibaringkan. Alivia melanjutkan tangisannya saat tangannya tak sengaja mendapatkan beberapa helai rambut Owen yang mulai rontok ketika ia kembali membaringkan owen.

"Ya Allah astaghfirullah." Alivia mendekap mulutnya agar Owen yang sudah menutup mata, tak mendengar jeritan kecilnya.

Sudah 3 bulan sejak Owen melakukan kemoterapi nya. Tubuhnya semakin kurus, karena Owen kehilangan nafsu makannya karena efek kemoterapi. Rambut nya makin rontok. Alivia benar-benar tidak tega melihat Owen yang seperti ini. Owen merupakan alasan Alivia untuk tetap bertahan di dunia kejam ini.

"Mama Yaya jangan ngis." Owen berusaha membuka matanya di kala rasa lelah dan ngantuk yang menyerang.

Alivia tersentak kaget ketika Owen memergokinya. Dengan anggukan kepala, ia mencoba tersenyum lebar pada Owen.

"Owen istirahat ya. Mama yaya akan selalu disini, disamping owen nemenin Owen."

* * * * *

Seperti biasa, Alivia akan menitipkan Owen ke panti asuhan. Tempat dimana dulu Alivia hidup hingga ia kuliah. Disanalah, Alivia selalu menitipkan Owen jika ia ada jaga di rumah sakit. Untungnya lokasi kontrakan Alivia tidak jauh dari panti.

Hold Me Thight [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang