019

6.3K 435 15
                                    

Peringatan adegan kekerasan
________________________________

Suara peraduan senjata dan teriakan sarkas terdengar begitu familiar memasuki telinga. Lemparan batu dan air keras menjadi sesuatu yang lumrah dilihat mata.

Tawuran malam itu pecah. Mempertemukan Sinister dan Alter di tempat tawuran sebagai musuh bebuyutan yang sering memicu keributan sejak lama. Arson yang berada dalam kubu Sinister, ikut terlibat di dalamnya.

Arson berjalan maju dengan langkah mantap dan tegas, membelah kerumunan manusia yang saat itu saling beradu senjata. Sajam yang dia genggam erat di tangannya sesekali berayun menepis berbagai serangan yang menghalangi.

Mata tajam menyisir seluruh kawasan yang sudah kacau oleh aksi anarkis beberapa orang yang sudah pasti berasal dari anggota lawan, sampai manik matanya jatuh pada sosok bertubuh kecil yang berdiri tegak di antara kedua temannya.

Arson ingin menghampirinya kesana, tapi dia terhalang oleh sejumlah lawan yang terus datang menyerangnya, mereka datang dalam jumlah yang tak terhitung, bisa enam, delapan, atau bahkan lebih. Sudah tidak terhitung berapa banyak orang yang sudah berusaha melawannya dengan senjata. Terlalu fokus pada lawannya membuat Arson kehilangan jejak Devon yang tadi berdiri di depan sana.

"Brengsek!" Arson mengumpat karena kehilangan jejak Devon di dalam ramainya orang. Rasa khawatirnya jelas mendominasi. Pikirannya sudah kacau mengingat sifat Devon yang aslinya sangat penakut.

Arson mengedarkan matanya menelusuri sekitar, berharap dia bisa menemukan orang yang dia cari. Namun, untuk menurunkan tingkat kawaspadaan dalam tawuran merupakan sesuatu yang sangat berbahaya. Terbukti dari sebuah batu yang terlempar entah darimana, mengenai pelipis Arson dan membuatnya berdarah. Dia masih bisa dianggap beruntung karena hanya terkena lemparan batu, bukan serangan senjata tajam yang diayunkan pihak lawan.

Setelah menyadari situasi tersebut, Arson mulai kembali bersikap waspada. Matanya kembali menyorot tajam dan berjalan tegap melangkah maju menuju lawannya. Dengan penuh perhitungan, dia menghadapi beberapa lawan yang mencoba menyerangnya, sampai berhasil membuat beberapa orang memilih untuk mundur.

Pertarungan itu terus berlanjut. Arson menghadapi orang-orang yang terus berganti sebagai lawannya, hingga suara tembakan pistol yang beriringan dengan suara sirine terdengar nyaring. Tanpa ragu, semua orang langsung buru-buru lari menyelamatkan diri sendiri tanpa berpikir hal lain lagi.

Berbeda dengan Arson yang malah berlari kencang mencari sosok kecil yang tadi sempat merebut fokusnya. Dia panik sendiri karena tidak juga menemukan Devon. Hatinya menjadi was-was, takut terjadi sesuatu pada pemuda kecil itu, entah terluka atau tertangkap polisi. Dengan penuh kekhawatiran, Arson berdoa semoga Devon aman dan tidak dalam masalah apapun.

Dengan kaki panjangnya, Arson berlari berlawanan dari kerumunan orang yang bergegas kabur dari petugas keamanan. Tidak seperti yang lain yang berusaha menjauh, Arson malah memilih untuk berlari kembali ke tengah-tengah area tawuran, berharap menemukan Devon di sana. Keberuntungan akhirnya berpihak pada Arson ketika matanya tiba-tiba menangkap sosok yang ia cari sedang bersembunyi di balik sebuah truk yang terparkir.

Arson melihat Devon yang sedang jongkok disana. Bisa terlihat ada beberapa noda merah darah yang tertinggal di baju pemuda itu. Wajah manis yang terlihat ketakutan, matanya bergerak gelisah melihat sekitarnya. Devon memeluk lututnya sendiri dengan dua tangannya yang lecet di beberapa bagian.

Hati Arson terenyuh melihatnya. Seharusnya Devon tidak ada disini, tapi kenapa anak itu mau ikut terlibat dalam tawuran seperti ini? Terkadang pertanyaan-pertanyaan seperti itu selalu mengganjal di kepala Arson, tapi meski dipikirkan berkali-kali pun, Arson tetap tidak bisa menemukan jawabannya.

Tanpa berpikir lagi, Arson segera berjalan menghampiri. Dia langsung menarik pelan tangan Devon berniat mengajaknya ikut dengan dirinya. "Dev—"

"E—enggak, saya gak ikut-ikutan, pak. S—sumpah...saya beneran gak tau. Pak polisi t—tolong jangan bawa saya..." kata Devon yang berontak ketakutan saat tangannya dipegang. Matanya terpejam rapat dengan refleks tubuh yang perlahan bergerak menjauh. 

Arson ikut berjongkok menyamai posisi Devon, tangannya masih memegang pergelangan Devon, sedangkan tangan yang satunya menuntun perlahan wajah Devon agar dapat melihatnya dengan jelas. "Hei... Hei, Devon, ini gua!" katanya sedikit berbisik, mencoba mendapatkan atensi Devon.

Perlahan Devon membuka matanya. Meski tubuhnya masih sedikit gemetar, tapi dia sudah tidak memberontak heboh seperti tadi. "Arson?" tanyanya memastikan karena dia tidak bisa mengidentifikasi wajah Arson dengan jelas akibat darah dan beberapa luka yang menutupi wajah tampan pemuda itu.

"Iya ini gua. Gak perlu takut, ya" kata Arson menenangkan. Tangannya berubah merapihkan poni Devon yang sudah lepek oleh keringat.

Tidak sesuai prediksi, Devon justru menyentak kasar tangan Arson sampai genggamannya terlepas. Dia berdiri dan sedikit menjauh dari Arson. "M—mau apa lo?" tanya Devon bersikap bengis, padahal suaranya masih bergetar lirih.

Perlahan Arson ikut berdiri. Dia menatap fokus pada Devon dengan alis yang menukik heran. "Gua nyari lo. Ikut gua ya? Kita harus cepet pergi dari sini, disini gak aman"

"Gak mau" tolak Devon. "Kenapa gua harus ikut sama musuh kaya lo? Mending lo tuh gausah sok deket sama gua!"

Arson menghela napasnya kasar. Untuk sejenak tadi, dia sempat lupa pada sikap bebal yang Devon miliki.

Arson menatap kondisi di sekitarnya yang sudah sangat tidak kondusif, kemudian fokusnya kembali tertuju pada Devon. ini jelas bukan waktunya untuk berdebat, tidak ada waktu lagi untuk sekedar membalas ucapan Devon. Dengan itu Arson menatap Devon begitu serius sampai lawan bicaranya tak mampu berkutik. "Ikut gua! Gausah keras kepala bisa?" kata Arson yang tidak sengaja menaikan nada suaranya.

Devon terdiam kaku. Dia terkejut karena bentakan Arson. Jantungnya yang memang sedang ketakutan semakin berpacu dua kali lipat karena rasa terkejutnya, menimbulkan rasa sakit yang berefek pada hatinya yang terasa sesak entah kenapa. Matanya juga mendadak jadi buram karena air mata yang tertahan di kelopak mata dan siap tumpah kapan pun dia berkedip.

Melihat Devon yang hanya diam, Arson langsung mengangkat tubuh Devon, membawanya ke dalam gendongan dan berlari menjauh dari sana.

Devon yang di gendong sama sekali tidak berontak atau memberikan reaksi berarti yang dapat menyulitkan pergerakan Arson, pemuda kecil itu malah memeluk leher Arson dengan sangat erat dan menyembunyikan wajahnya disana.

Tanpa diketahui Arson, setetes air mata lolos dari mata Devon yang memilih untuk memejamkan matanya. Hatinya terasa campur aduk tidak karuan. Di satu sisi dia takut oleh situasi saat ini yang terkesan berbahaya, dia juga takut karena baru saja terlibat keributan besar dengan beberapa orang, tapi disisi lain dia lebih takut oleh nada tinggi yang baru saja Arson lontarkan terhadapnya. Devon tidak mengerti kenapa rasanya sedih ketika mendengar nada tinggi keluar dari mulut Arson saat tadi membentaknya.

Devon tidak mau ikut dengan Arson karena dia berpikir akan rumit masalahnya kalau sampai ada yang melihat mereka berdua bersama, tapi berada dalam pelukan Arson seperti ini selalu terasa nyaman baginya. Dia bingung dengan hatinya, dia tidak mengerti apa yang harus dia lakukan. Perasaannya selalu saja bertolak belakang dengan pikirannya dan itu adalah hal yang membingungkan bagi Devon.

Secret Innocence [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang