Suasana hari ini terbilang mendung. Setelah begitu lama menghindar dari Paman, aku memutuskan untuk pergi ke rumahnya untuk menyelesaikan permasalahan kami. Sesampainya di depan pintu rumah Paman, aku melihat pintu rumah Paman yang terbuka dan mataku terkejut ketika melihat bercak darah memercik lantai yang tersebar. Aku memanggil Paman terus menerus. Mencarinya di setiap sudut rumah, tetapi aku belum menemukan Paman.
"Paman ...." teriakku dengan putus asa setelah melihat pintu kamar mandi di luar ruangan terbuka.
Seketika lututku lemas hingga tubuhku jatuh ke lantai. Rasa kehilangan yang menggebu membakar dada, menitikkan air mata panik di sudut mata. Aku hancur, mengira bahwa Paman telah berpulang meninggalkanku. Maka, dalam tangis penuh kepedihan, aku meratapi kepergian yang tak kunjung terjawab itu.
Namun, tiba-tiba, sebuah sentuhan absurd menyelinap dalam tragedi ini. Sebuah ayam muncul di depan mataku, seolah menjadi pelaku dari skenario aneh ini. Paman muncul, bukan dengan langkah berat yang aku bayangkan, melainkan dengan perlengkapan menyembelih ayam yang tergantung di tangannya.
"Ren? Misi dulu bentar!" ucap Paman yang sibuk menangkap ayam liar itu.
Aku pun langsung mencolek noda darah yang berceceran di lantai itu dan mencium bau amis. Noda yang menghantui diriku ternyata adalah coretan dari ritual penyembelihan yang tidak terkendali karena saat aku mendekat ke arah kamar mandi, beberapa Ayam yang sudah berhasil disembelih tergeletak begitu saja di ember. Rumah ini bukanlah tempat keheningan, melainkan panggung pertunjukan kocak dari sebuah upaya yang jauh dari mahir. Aku melihat Paman mencoba menangkap ayam itu dengan goyah dan seketika seisi rumah menjadi arena kacau balau.
Saat itulah, aku merasa seolah mendapatkan kembali hembusan napas yang sempat terputus. Paman tertawa kecil, mencoba menyelipkan humor di antara reruntuhan kejadian. Aku merasa lega, merangkul Paman dengan erat, mencium aroma hidup yang selama ini hampir kuanggap lenyap. Dalam air mata kelegaan, aku bersyukur bahwa Paman masih ada.
Setelah itu, Paman memintaku untuk menunggu di ruang tamu dan ia akan membereskan kekacauan yang berada di dalam rumahnya terlebih dahulu sembari membersihkan diri dari noda darah ayam dan bau yang sudah tak sedap pada tubuhnya. Aku pun menuruti begitu saja sampai sesekali aku tertawa di ruang tamu atas tingkah panikku yang secara mendadak itu. Aku pun menyadari bahwa aku takut kehilangan Paman dan sungguh menyayanginya. Sejam kemudian, Paman kembali ke ruang tamu dengan senyuman dan dua cangkir teh hangat berada ditangannya.
"Teh hangatnya?" tawar Paman, senyuman yang lembut masih terukir di wajahnya.
"Makasih, Paman!" kataku dengan tulus, menyeruput teh hangat yang menyusuri tenggorokanku.
Paman memulai penjelasan tentang kekacauan tadi, sebuah upaya untuk memasak ayam goreng yang berakhir dengan kejadian tak terduga. Sementara kami tertawa, Paman melihatku dengan tatapan penuh kepedulian.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOUR EYES
FantasíaBirendra, seorang pemuda yang memiliki kemampuan membaca masa lalu dan kehidupan lampau seseorang terjebak dalam kerinduannya kepada Adhira, wanita yang ia cintai di kehidupan pertamanya. Meski sosok Adhira belum terlihat jelas dan hanya mengandalka...