Leo memuntahkan darah di mulutnya, entah kenapa akhir-akhir ini Leo merasa penyakit atau kankernya semakin memburuk.
Terkadang mimisan tiba-tiba di hadapan ayahnya yang membuat Ayahnya langsung mendorong Leo untuk menjauh.
Tidak ada upaya ayahnya untuk menyembuhkan penyakitnya.
Malahan, ayahnya berharap jika, "Kau segeralah mati saja dan tidak usah bernafas sekalian." Katanya.
Ia sepertinya harus mengecek kesehatannya lagi di rumah sakit.
Ia pun beranjak pergi dan meninggalkan ayahnya yang sedang mengotak-atik laptopnya.
. . . . .
Leo berjalan pelan menuju ke rumah sakit, entah kenapa cuaca hari ini begitu terik dan panas.
Keringatnya mulai berjatuhan, bahkan penglihatannya mulai memburam.
Ia memilih untuk duduk di kursi jalanan untuk mengistirahatkan diri, ia memperhatikan orang-orang berlalu-lalang, ada yang pergi bekerja, ada pula yang sekedar jalan-jalan bersama temannya, ada juga sebuah keluarga yang sedang tertawa bahagia bersama di seberang jalan.
Ia iri melihat keluarga itu, seorang ayah yang mengangkat seorang putrinya dan seorang ibu yang memegang tangan putranya.
Haruskah dirinya iri? Seharusnya tidak, karena takdir sudah diatur sedemikian rupa dan porsi kehidupan mereka sudah dibatasi.
Namun, bolehkah dirinya egois? Merasakan kasih sayang sekali lagi dari keluarganya yang terpecah belah karena dirinya?
Begitu lama ia berpikir hingga tidak menyadari Siti dan Ayu menumpahkan minuman bekas mereka berdua di atas kepala Leo.
Siti dan Ayu langsung kabur karena takut ditangkap oleh pihak keamanan, sedangkan Leo hanya bisa pasrah dengan keadaannya.
Lama Leo mengistirahatkan dirinya, ia bergegas melanjutkan langkahnya menuju ke rumah sakit.
. . . . .
Sesampainya, Leo langsung mencari si dokter untuk mengecek kesehatannya, biaya administrasi? Leo terpaksa mengambil uang dari dompet ayahnya tanpa meminta izin.
Bodoh memang, tapi begitulah dirinya.
Ia menunggu gilirannya dipanggil hingga pendengarannya secara tidak sengaja menangkap perbicaraan 2 orang di belakangnya.
"Sudahlah ibu, ikhlaskan saja Hana."
"Hiks, b- bagaimana b- bisa ibu melupakan anak semata wayangku sendiri, hiks."
"Yang kuat saja ibu, jangan bersedih."
"T- tidak, aku y- yakin ini hanyalah m- mimpi, hiks."
Leo tau siapa mereka berdua, pasti keluarga dari pihak Rifarhanatul, ah.... Sungguh kebetulan yang mengerikan.
Belum sampai disitu saja, ia mendengar perbincangan 3 orang di sampingnya.
"Ayah, ibu.... Kak Mika belum pulang dari sekolahnya?"
"Nak, kakakmu itu sedang bersekolah yang tinggi, nanti pulang."
"Sudah, jangan menangis terus, ya? Nanti kakakmu sedih kalau kamu cengeng."
Ah, sakit sekali.
Leo tida sanggup.Segera ia pulang cepat tanpa menghiraukan seorang perawat yang memanggil dirinya.
. . . . .
Leo takut.
Sangat takut
Karena? Karena ayahnya pasti sedang marah besar karena mengambil uangnya tanpa izin dan melewatkan jam makan siang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Leo Carousel [End]
Novela JuvenilApakah boleh jika dirinya egois? Ia telah mendapatkan keluarga yang utuh dengan memiliki orangtua yang lengkap dan dua abang atau kakak. Namun, ia merasa kurang hanya dengan kasih sayang sang ibu dan ayah. Ia ingin kasih sayang dari kedua abang ata...