Part 9 [Black Card]

6.6K 490 18
                                    

Happy Reading, sorry for typo.

Siapa yang tidak mau kehadiran black card di dompet? Aku bukan orang bodoh yang akan menolak saat Sakha memberikanku black card saat awal kami menikah dengan alasan tak enak hati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Siapa yang tidak mau kehadiran black card di dompet? Aku bukan orang bodoh yang akan menolak saat Sakha memberikanku black card saat awal kami menikah dengan alasan tak enak hati.

Buktinya sekarang, pengaruh kartu berwarna hitam itu sangatlah besar. Aku bisa berbelanja tanpa harus melihat price tag, juga tak harus memikirkan sisa limit uang yang tersisa.

Tanpa harus menyombongkan diri di hadapan banyak orang, aku hanya harus berdiri di depan kasir dan mengeluarkan kartu hitam dari dompetku, lalu semua mata langsung memandangku iri.

Meskipun begitu, cukup sulit untuk beradaptasi kehidupanku yang sekarang. Dulu aku adalah orang yang berhemat, tak mengeluarkan uang untuk barang yang tidak aku perlukan, menahan diri dari keinginan mengeluarkan uang yang bukan untuk kepentinganku.

Pertama kali aku menerima black card sehari setelah pernikahan dengan Sakha, aku bingung dengan apa yang harus aku lakukan. Aneh kan, saat tak ada uang aku memiliki banyak sekali keinginan untuk membeli sesuatu dan saat uang bukan lagi masalah untukku, aku malah bingung.

Sakha bilang, aku bebas membeli apapun dengan kartu itu. Semua kebutuhan rumah tangga dan keperluanku, Sakha tak memberi batas apapun untukku menghabiskan uangnya. Tipikal anak sultan yang sudah menjadi sultan beneran.

Karena itulah aku disini, berkeliling mall untuk menghabiskan— ralat! Memakai uang Sakha. Bukan untuk keperluanku, karena saat ini aku belum kekurangan skincare atau pakaian pesta. Aku berbelanja untuk membeli kebutuhan anak panti tempat tinggalku dulu, aku sudah meminta Ibu panti untuk mencatatan keperluan penting apa saja yang di perlukan semua anak-anak di sana.

Dengan Pak Sarto yang senantiasa mengikuti, aku berkeliling mencari barang yang ada di dalam catatan.

Satu jam berkeliling, aku menoleh menatap Pak Sarto yang di tangannya sudah penuh dengan kantung belanja.

"Berat gak, Pak? Sebagian sama aku aja."

"Gak berat kok, Bu. Saya masih sanggup bawa sepuluh kantong lagi, Ibu gak usah khawatir."

Aku terkekeh mendengar suami dari Bi Tima ini, jokes pasangan suami istri ini satu frekuensi.

"Kalau gitu, Pak Sarto ada barang yang mau di beli gak? Aku traktir deh."

"Saya lagi gak butuh apa-apa, Bu."

"Buat Bi Tima, gak ada juga?"

"Ah kalau istri saya, kemarin sempet ngeluh sih gak punya sepatu kondangan karena yang biasa di pake udah rusak solnya."

"Oh, Pak Sarto tahu ukuran sepatu Bi Tima gak?"

"Tahu, Bu."

"Ya udah, yuk. Kita beliin sepatu kondangan buat Bi Tima," seruku, berjalan semangat untuk mencari sepatu.

Flawless Wife [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang