Part 13 [Denial]

5.3K 323 10
                                    

Happy Reading, sorry for typo.

Sejak kecil aku terus denial dengan pemikiranku, seperti tak ingin tahu wajah orangtua kandungku, tak mau bertemu orangtuaku dan tak perlu merasakan kasih sayang mereka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sejak kecil aku terus denial dengan pemikiranku, seperti tak ingin tahu wajah orangtua kandungku, tak mau bertemu orangtuaku dan tak perlu merasakan kasih sayang mereka.

Setelah dewasa aku menyadari, jika itu hanyalah pemikiran anak kecil yang sebenarnya berharap jika orangtua kandungku datang untuk menjemput, suatu hari nanti.

Aku iri dengan teman sekolahku yang di antar orangtuanya ke sekolah, aku iri saat mereka membicarakan tentang barang yang di beli orangtua mereka, aku iri saat mereka menceritakan liburan bersama keluarga mereka. Karena aku tak pernah merasakan itu semua.

Beranjak dewasa, barulah aku berada di fase menerima takdir. Menyadari kebahagiaan lain yang aku lewatkan selama ini. Seperti, aku bahagia di antar sekolah untuk pertama kalinya oleh ibu panti, aku bahagia saat ada orang baik yang datang membawakan banyak mainan dan makanan untuk kami semua, aku bahagia bisa setiap hari bermain dengan anak panti yang memiliki nasib sama sepertiku.

Dengan pemikiran itu, luka masa kecilku terobati. Aku benar-benar tak lagi penasaran dengan wajah orangtuaku, aku tak ingin bertemu mereka dan aku tak akan mau menganggap mereka sebagai orangtuaku.

Tapi setelah di hadapkan dengan kejadian tadi, aku merasa tertampar. Aku tak bisa melakukan hal yang selama ini aku pikirkan, otakku buntu.

Wanita itu, wajah itu dan nama itu terus terngiang di ingatanku seolah aku tak boleh melupakan momen tadi.

Aku tak melakukan apapun saat Mama membatalkan pesta kembang api, aku tak melakukan apapun saat Sakha membawaku pulang, bahkan sampai aku bersiap tidur pun aku tak bisa melakukan apapun.

"Gempita."

Telapak tangan dingin di pipiku menyadarkan pikiranku, aku menoleh menatap Sakha yang entah sejak kapan menempati ruang kosong kasur di hadapanku.

"Apa yang kamu pikirkan, hm?"

"I dunno, Sakha."

"Aku akan jadi pendengar kamu, katakan apapun yang kamu mau. Seenggaknya hal itu bisa buat perasaanmu lebih baik," kata Sakha, mengelus pipiku dengan lembut.

"Apa wanita tadi itu ibu kandungku?" pertanyaan itu keluar dari mulutku, yang padahal aku tahu Sakha tak tahu jawabannya.

"Aku akan cari tahu untuk kamu, sebelum semuanya pasti kita gak bisa percaya orang asing."

"Kalau dia beneran ibuku, gimana?"

"Kalau kamu mau dia pergi dari hidup kamu, aku yang akan buat dia pergi. Kalau kamu mau dia menetap di hidup kamu, aku akan minta dia menetap. Apapun itu yang kamu mau, aku akan ikuti selama kamu bahagia."

"Aku udah gak mengharapkan keberadaan dia sejak kecil, Sakha. Kenapa dia harus datang setelah aku berhasil bertahan dengan kehidupan aku?"

"Kemana dia selama ini? Kenapa dia baru muncul setelah aku bisa hidup bahagia tanpa keberadaan dia?"

Flawless Wife [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang