05 - Sebuah Mimpi

77 55 15
                                    

***

Semilir angin berdesir, meniup butiran debu, dan menyapu dedaunan yang berserakan. Kicauan burung berkumandang dengan merdu kala mentari menghangatkan pagi.

Dalam rumah yang tertata rapi dengan nuasana serba putihnya, terpajang berbagai lukisan di beberapa sudut. Lukisan-lukisan abstrak itu tampak indah dengan perpaduan warna yang terang.

"Ini semua, lukisan lo, Van?" Aiden bertanya sambil menatap satu demi satu lukisan yang dipajang.

"Gak, Den. Lukisan-lukisan yang dipajang di luar ini, semuanya dibeli sama nyokap saat dia dateng ke pameran."

"Terus, lukisan lo ke mana, Van?" Aiden menoleh ke arah Jevano. "Padahal lo juga sering ngelukis, kenapa masih harus beli yang lain?"

Jevano mengulas senyum. Kemudian, ia membawa Aiden masuk ke dalam kamarnya untuk melanjutkan latihan mereka.

Vano menutup rapat pintu kamarnya yang kedap akan suara, sebelum menyalakan audio yang akan menggiringnya sewaktu memetik gitar.

Jevano, dan Aiden tetap berlatih dengan sungguh-sungguh meski tak ada member lainnya di sana. Mereka menyiapkan diri dengan matang untuk kontes yang akan mendatang. Keduanya berharap, di penampilan berikutnya, grup band EX1 bisa memperoleh peringkat pertama.

Saking asyiknya mereka bermain gitar, sampai tak sadar bahwa waktu berlalu dengan cepat.

Jevano putuskan untuk berhenti sejenak, beristirahat terlebih dahulu sebelum melanjutkan latihannya.

Selagi beristirahat, Aiden memutuskan untuk mengelilingi kamar Jevano yang terbilang besar. Di sana, ia mendapati banyak lukisan di setiap sisi ruangan. Tetapi, yang menjadi pembeda antara lukisan di kamar Vano dengan yang di luar, karena pelukisnya yang berbeda, serta temanya.

"Lukisan-lukisan ini, lo kah yang ngelukis?" ujar Aiden sambil menatap salah sebuah lukisan yang diletakkan berhadapan dengan kaca. "Lukisan ini dipadukan dengan warna terang, tapi, makna yang tersirat di dalamnya, tak seterang warnanya, kan?"

Jevano tersenyum tipis sambil duduk di atas ranjangnya. "Pandangan setiap orang berbeda-beda tentang lukisan itu."

Aiden tertawa tipis. Ia memutar badannya, menghampiri Jevano yang menduduki ranjang empuk.

"Selimut lo harusnya menutupi satu ranjang, Van." Aiden berkata sembari menarik selimut yang mulanya digelar di atas ranjang.

"Sudah rapi, Den. Memangnya apa lagi yang kelihatannya kurang?" Jevano bingung menanggapi Aiden.

Aiden kembali tertawa. "Hanya kurang satu, Bro." Dia memandang Jevano, melempar selimut ke arahnya lalu mendorong tubuh Vano ke ranjang.

" Dia memandang Jevano, melempar selimut ke arahnya lalu mendorong tubuh Vano ke ranjang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kata dan Waktu [ TERBIT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang