17 - Sendu

45 37 10
                                    

***

Hawa dingin menyeruak menusuk jiwa. Pagi yang biasanya hangat, dan penuh harapan, kini terasa sendu. Kabut tebal menyelimuti satu kota, menjadikan hari yang tampak gelap dan pilu.

Levi membuka gorden kamarnya. Mendapati panorama pagi yang kurang memuaskan, ia lekas menutup gorden jendelanya kembali.

Pria setinggi 173 cm itu mengamati kamarnya yang sudah seperti kapal pecah. Barang-barang miliknya bertebaran di atas lantai dan hampir memenuhi satu ruangan.

Levi merasa dongkol lantaran tiap kali dia membereskan kamarnya, pasti tak pernah terlewatkan pemandangan yang sangat berantakan bagai kapal pecah sebelum terlihat rapi seperti buku-buku perpustakaan yang disusun di rak paling atas.

Dia memunguti satu demi satu lembaran kertas. Jika isinya tak lagi penting, cergas dirinya membuang kertas tersebut. Sebaliknya, jika kalimat yang tertulis dalam lembaran-lembaran kertas masih penting ataupun berguna, ia akan mengumpulkannya menjadi satu dalam sebuah kotak kayu.

Levi menata kembali barang-barangnya dari ukuran yang terbesar hingga yang paling kecil. Sewaktu dirinya tengah menyusun kotak-kotak berisi, ia menemukan sebuah kotak warna hitam yang tampak tak asing di matanya meski jarang dilihatnya.

Levi merenung selama beberapa saat sampai dirinya teringat kembali akan masa kecilnya. Dia menghela napas panjang. Entah mengapa, perasaannya merasa gundah ketika akan membuka kotak yang diberikan oleh teman semasa kecilnya yang justru meninggalkan luka dalam memorinya.

"Kotak darinya tak selalu berisi hal buruk, kan?" Levi mencoba berprasangka baik. Walaupun dari lubuk hati terdalamnya, tak henti menaruh rasa curiga.

Dia membuka kotaknya yang dipenuhi oleh berbagai tulisan yang ditulis dengan menggunakan darah. Entah tulisan tersebut benar-benar ditulis dengan darah asli atau dengan tinta pena fountine yang berwarna merah.

Semua kertas yang hampir memenuhi satu kotak telah Levi keluarkan. Kini saatnya dia membuka kantong plastik hitam yang entah apa isi di dalamnya. Jari jemarinya cergas membongkar ikatan plastik yang cukup kencang.

Kedua tangannya melemah sampai tak mampu untuk memegang kantong tersebut. Matanya melebar. Wajahnya memucat.

"Ja...jari?!"

***

Alunan nada yang bersenandung dari lisan seorang gadis muda berparas cantik, terdengar merdu. Raelynn menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Ia menggoyangkan kedua kakinya secara bergilir saat duduk di bangku putih yang ada di pekarangan rumah, tempat di mana dia sering menghabiskan waktu dengan mendiang kakaknya dahulu.

Raelynn menghirup udara segar. Dia memejamkan kedua matanya sejenak sambil menikmati berbagai suara di sekitarnya. Meski sang kakak tak lagi ada di sana, ia tetap bisa merasakan lantunan harmoni petikan gitar yang biasa Angkasa mainkan.

Garis bibirnya melengkung ke bawah. Bibirnya bergetar menahan sesak. Cairan bening mulai luruh dari netranya. Dia membuka matanya perlahan. Tangannya mengelap air mata yang akan menetes di pipinya.

"Aku gak boleh sedih! Kalau aku sedih terus, kasihan kak Angkasa. Nanti dia gak bisa pergi dengan tenang karena aku lagi," ujarnya dengan nada yang serak. "Aku harap, kakak bahagia di atas sana."

Raelynn membisu selama beberapa waktu. Tatapannya kosong, tapi, masih saja terukir senyum di wajahnya. Dia masih rindu dengan sosok sang kakak yang selalu ada untuknya. Mungkin jika bisa diutarakan dengan jujur, perlakuan Angkasa kepada adiknya jauh lebih baik dari orang tuanya.

Kata dan Waktu [ TERBIT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang