18 - Pemakaman

50 36 7
                                    

***

Mentari menyapa pagi dengan sinarnya yang menghangatkan bumi. Kicauan burung bersenandung merdu di pekarangan rumah. Panorama pagi yang tampak elok, cocok untuk diabadikan oleh para pecinta alam.

Namun, seindah apapun pagi ini, tetap saja terlihat sendu dari sudut pandang dua Huening bersaudara.

Mulai dari malam sampai dengan detik ini, Angelina tak berhenti menangis tersedu-sedu. Hatinya hancur berkeping-keping melihat sosok wanita dewasa yang telah merawatnya sejak bayi hingga besar, kini terkapar tak bernyawa di dalam peti.

Sebagai sosok seorang kakak dalam kehidupan Angelina, Jevano menghibur sang adik yang larut dalam kesedihan. Hatinya pun turut hancur ketika mendengar berita kematian sang ibu. Tetapi, dirinya harus tetap tegar di hadapan sang nona kecil.

"Sudahlah, Angel. Jangan menangis terus, ya? Nanti bunda gak bisa pergi dengan tenang." Jevano mengelus lembut surai rambut Angelina.

Angelina diam membisu. Tatapannya kosong, raut wajahnya pucat, dan tangannya sungguh dingin. Jevano mencemaskan kondisi adiknya yang kini terlihat seperti mayat.

Angelina menghela napas panjang. Dia mengelap air mata yang sedari tadi membasahi pipinya. Ia bangkit berdiri setelah sekian lama duduk di samping jenazah Jovita lalu pergi ke kamarnya.

Jevano lantas menyusul sang adik. Tapi, ketika ia mau ikut masuk ke dalam, Angelina menghentikannya.

"Kak, beri aku waktu untuk sendiri," ujarnya serak. Angelina menutup pintu kamarnya serta menguncinya.

Memang benar apa yang diinginkannya. Di saat-saat yang memilukan ini dibutuhkan waktu untuk menyendiri dari keramaian. Jevano dapat memahami perasaan yang Angel rasakan. Meski di lain sisi ia cemas, tapi, dia harus memberikan ruang kepada sang adik untuk menenangkan dirinya sendiri.

Di lain sudut. Jaylen tiba di kediaman Jevano yang sudah dipenuhi banyak orang. Bahkan polisi pun turut hadir di sana untuk menyelidiki kasus kematian Jovita yang juga menjadi korban dalam pembunuhan berantai senar gitar.

Jaylen bergegas masuk ke dalam. Ia menatap mayat Jovita dengan raut yang begitu datar. Dia lekas mendatangi jenazah tersebut lalu menyelipkan secarik kertas di jari-jemari yang dingin.

"Terima kasih."

Selepas itu, Jaylen menemui Jevano yang baru turun dari lantai dua. Mereka duduk bersebelahan di sofa sambil menatap tubuh dingin yang terbujur kaku di dalam peti.

"Gua gak nyangka kalau nyokap lo bakal jadi korban pembunuhan berantai," cetus Jaylen.

Jevano menghela napas panjang. Ia menundukkan kepalanya, memainkan jari jemarinya yang panjang. "Sekarang dia bukan hanya mengincar gitaris saja."

"Apakah kau percaya kalau pembunuh berantai itu ternyata adalah orang di sekitarmu?" tanya Jaylen menyeringai.

"Seharusnya dia menargetkanku..."

Jaylen mengulas senyum. Dia menepuk-nepuk bahu Jevano lalu mengacak-acak rambut sahabatnya.

***

Waktu kian berlalu. Jenazah Jovita dimakamkan di tempat pemakaman umum yang jaraknya tak terlalu jauh dari kediamannya. Sehingga, jika Jevano ataupun Angelina merindukannya, mereka bisa langsung ziarah ke makam.

Proses pemakaman Jovita dihadiri oleh banyak orang. Dari mulai pihak keluarga, teman-teman dekat, tetangga, member EX1, dan Emilio.

Member EX1 berbondong-bondong menghibur Amgelina yang larut dalam kesedihan. Mereka tak bisa melihat sang putri kecil kesayangannya menangis sesegukan. Terlalu sibuk mereka mengurus si bungsu Huening sampai-sampai melupakan Jevano.

Kata dan Waktu [ TERBIT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang