10. Different Confuse

87 6 2
                                    

Penolakan adalah hal yang tentu saja Nara lakukan, ia mendorong dada pria itu untuk lekas menjauh darinya, Nara menatapnya sekilas lalu kembali menunduk karena jujur ia masih takut.

ditambah sekarang Nara juga sangat tidak mengerti apa yang sedang terjadi, ia berusaha berpikir keras agar tindakan berikutnya tidak merugikan nyawanya, pria dihadapanya ini bisa saja langsung membunuhnya saat tau bahwa Nara bukanlah yang sedang ia cari, terlebih saat Nara menyadari mata itu memincing memperhatikan tiap inci wajahnya, Nara tak ingin ketahuan, dengan cepat ia maju mencium pria itu, membungkam keraguan dengan memberikan ciuman hangat, tak peduli jika kedepannya akan semakin memusingkan.

masih dalam jarak yang dekat, namun tak lagi saling berciuman, pria itu menatap mata Nara sangat dalam.

"kau mencintainya?" tanyanya pelan.

Nara mematung seketika, sungguh jika boleh bersumpah, saat ini dia bersumpah bahwa ia tau siapa yang sedang dimaksud.

"tidak." ucap Nara, cari aman saja.

pria itu mengangguk. "aku akan mempercayaimu." ia pun kemudian berdiri, dan mengulurkan tangannya untuk membantu Nara.

Nara menerima uluran tangan itu meski agak ragu, takut saja tiba-tiba dibanting seperti sebelumnya, dan bersyukur kali ini tidak.

"selesaikan dengan cepat, aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi."

"pasti, akan ku selesaikan segera." ucap Nara penuh percaya diri.

Pria itupun tersenyum lega, ia meninggalkan Nara disana, seolah Nara tau jalan pulang.

Nara berdiri menatap punggung pria itu perlahan menjauh sampai akhirnya berbelok arah dan hilang. Ia tak menangkap hal dalam kejadian barusan, Nara memang bukan gadis cerdas jika dibandingkan dengan wanita-wanita disekeliling Seokjin, apalagi dengan Jiah. Nara itu lugu, naif dan mudah dibodoh-bodohkan, ia hanya hebat dalam urusan cinta panas terlarang karena memang sudah pekerjaannya.

Sering kali Nara menangisi dirinya yang bodoh ini karena sudah masuk kedalam dunia kelam madame meline sangat menghancurkannya tanpa orang tau seberapa rapuh ia didalam, sehingga ia tampak seperti wanita yang menyedihkan yang hanya dipandang sebelah mata, tapi beberapa jawaban yang ia berikan pada pria tadi itu lumayan bisa merubah imagenya yang dikenal menyedihkan menjadi wanita licik dan jahat

Bak memakai topeng, Nara dapat berubah hanya dalam hitungan detik, berawal dari yang tidak tau apa-apa menjadi yang paling memahami rencana.

Siapakah Nara sesungguhnya? apakah dia sengaja memakai topeng itu untuk mengelabui musuh atau justru itu dirinya yang sesungguhnya?  jangan lupa bahwa seorang pelacur dan wanita licik sama-sama bukan orang jahat.

jika iya, itu artinya Nara adalah Arin, istri Seokjin yang katanya sudah meninggal tapi Seokjin sendiri masih mencari-carinya seolah wanita itu masih ada dunia.

Namun nyatanya salah, saat ini Nara adalah Nara, bukan Arin atau siapapun, Karena hal yang pertama ia lakukan setelah merasa sekitarnya aman adalah menelpon Seokjin.

Bersyukur ponselnya masih memiliki daya, atau jika tidak, ia hanya akan pasrah pada dunia, baring disana tanpa melakukan apa-apa sampai mungkin besok pagi ada yang menemukannya. Luka dan nyeri yang ia dapatkan ditubuhnya lebih mendominasi memerintahkan dia untuk diam.

Tak perlu waktu lama, Seokjin segera mengangkat panggilannya, Nara mendadak lemas, tubuhnya merosot jatuh ketanah, lega karena ia masih diizinkan untuk selamat.

"Hallo." Seokjin menyahut.

Nara menghela nafasnya.

sementara suara diponselnya terdengar semakin khawatir. "Nara, kau dimana? katakan padaku!"

"tuan, sepertinya aku diculik."

"apa? orang seperti apa yang menculikmu? berikan ponsel ini padanya, katakan aku bayar berapapun yang ia minta."

"penculiknya sudah pergi, aku sendirian disini." ucap Nara semakin lemah.

"dimana? lokasinya dimana?" Seokjin terdengar panik.

"a-aku tidak tau. seperti gudang tak terpakai."

"aku akan kesana, tunggu aku."

Nara mengangguk lemah, ia merentangkan tangannya karena lelah, lalu perlahan memejamkan kembali matanya, menunggu pertolongan yang semoga saja cepat datang.

--

Melacak lokasi Nara setelah panggilan tersebut bukanlah hal sulit, dengan membawa beberapa pengawal untuk menemaninya, dua mobil itu melaju ke lokasi dimana Nara terakhir berada.

dua orang pengawal berbadan besar yang siap siaga menerima penugasan dihampir jam dua pagi ini berjalan lebih dulu dengan senjata ditangan siap untuk menembak siapapun yang berusaha menghalangi mereka.

sementara dua lainnya berjaga dibelakang Seokjin dan Jiah yang juga ikut bergegas masuk kedalam gudang bercahaya kuning yang minim cahaya.

Seokjin memincingkan matanya kala melihat seseorang tergeletak digudang tanpa sekat yang hanya beralaskan tanah. "Nara?" cemasnya, kala berhasil menebak bahwa itu memang Jeon Nara.

Jantung Seokjin rasanya ingin lepas, ia segera berlari tanpa aba-aba, bahkan yang seharusnya dua pengawal itu berada didepan, malah kalah cepat karena telah didahului.

Seokjin langsung memeriksa pergelangan tangan Nara berharap masih ada denyutan disana agar setidaknya ia bisa sedikit tenang, tidak gemetaran seperti sekarang.

Jiah memperhatikan reaksi Seokjin yang terlewat cemas, sekaligus bertanya-tanya, kenapa ia bisa secemas itu? Jiah bukan bermaksud tidak suka, ia hanya heran karena Jiah tau orang seperti apa Seokjin, ia tidak mudah mau memperlihatkan betapa cemasnya dia terhadap orang lain, Seokjin itu cenderung kurang ekspresif soal reaksi tidak menyenangkan seperti ini.

Jiah berkedip dua kali, disaat-saat seperti ini ia tidak punya waktu untuk bertanya-tanya soal ekspresi orang lain, dengan cekatan ia mengeluarkan ponselnya dari tasnya, menelpon ambulan untuk meminta bantuan.

Seokjin merengkuh tubuh Nara, naik kepangkuannya, sembari mengguncang pelan tubuh wanita dan menyuruhnya bangun.

"Jeon Nara-ssi, buka matamu."

Nara tampak merespon, ia membuka matanya perlahan. "T-tuan? anda datang?".

Perasaan lega terjun bebas menyapa Seokjin, dengan cepat ia memeluk Nara, menenggelamkan wanita itu dalam dekapan hangatnya.

"Tentu saja, Aku datang." ucap Seokjin sembari mengeratkan pelukannya dengan mata yang terpejam dan diriingi detak jantung yang mengacu cepat, ingin Nara juga ikut merasakannya betapa ia sangat mengkhawatirkannya sekalipun ia tak punya alasan untuk itu.

Nara sedikit terkejut akan respon Seokjin padanya. Namun akan sangat tidak sopan jika ia mendorong Seokjin begitu saja untuk melepaskan pelukan erat itu.

Jiah dan beberapa bodyguard yang Seokjin bawa melihat mereka dengan tatapan heran. Sorot mata salah satunya bertemu dengan mata Nara yang juga sama herannya.

"tuan, aku susah bernafas." ucap Nara pelan, ini cara paling sopan yang bisa ia lakukan karena dadanya benar-benar nyaris tak bisa bernafas dengan benar.

"maafkan aku."

Seokjin segera melepaskan pelukannya dan menurunkan Nara dari rengkuhannya, membiarkan gadis itu duduk diatas tanah tanpa bantuan lalu kemudian berdiri.

"kita langsung kerumah sakit saja, Choi Sajangnim, akan lama jika menunggu mereka datang kesini." ucap Jiah muncul memberi saran.

Dan Seokjin pun mengiyakannya saja.

Secret DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang