Sebulan berlalu begitu saja, hari harinya terasa lambat, Nara mulai merasa bosan akan aktifitasnya yang tidak jelas, Seokjin menghabiskan banyak waktunya dikantor dan menjadikan rumah hanya sebagai tempat untuk numpang tidur saja.
Semenjak penculikannya hari itu, Nara sama sekali tidak diperbolehkan untuk keluar rumah bahkan sedetikpun, untuk berada dihalaman rumah saja harus ada beberaa penjaga yang mengawasinya. Nara tidak terbiasa akan hal ini, hari pertama dan kedua awalnya ia senang-senang saja, toh hanya disuruh bersantai, semua telah disediakan, itu keinginannya sejak lama memang, menghirup udara tanpa perlu memikirkan soal mencari uang. Tapi lama kelamaan semua terasa sangat membosankan.
Terbiasa memiliki aktivitas yang banyak sejak remaja, Nara hampir mati karena rasa bosan yang perlahan meraupnya. Sudah sering ia membujuk Seokjin hanya untuk sekedar dibolehkan bermain ke warnet terdekat untuk melepas sesak, tapi penolakan adalah hal yang selalu Nara dapatkan.
"Tidak." jawaban mutlak keluar dari mulut Seokjin, penolakan tegas entah untuk yang keberapa ia layangkan pada Nara yang kali ini memaksanya untuk membawanya jalan-jalan.
"ayolah tuan, aku bisa mati jika dirumah terus." rengek Nara sembari melepaskan sendok dari tangannya, sarapannya belum sempat ia sentuh, ia hanya mengaduk-ngaduknya dari tadi.
Seokjin meneguk menumannya, pun selanjutnya ia melanjutkan. "Kau tidak akan mati, ini baru sebulan dan kau sudah tidak tahan?"
Nara mengepalkan tangannya geram.
"kau lupa kontraknya? kau harus bersamaku selama setahun." pria berbahu lebar itupun berdiri.
"Jika itu yang terjadi aku tidak akan protes, masalahnya kau terus meninggalkanku sendirian, melarangku untuk keluar, memberiku penjagaan yang ketat, memperlakukanku seperti di penjara. sial, kau pikir aku tahanan?!" Bentaknya sembari melemparkan pisau makannya ke arah meja dimana masih terletak peralatan makan Seokjin disana.
Dentingan nyaring dari piring dan pisau yang saling bertabrakan itu, sukses membuat hening seisi rumah. Seokjin terdiam, Syok.
Nara memang sedikit kasar namun tak pernah Seokjin bayangkan ia dimaki begitu saja sembari dilempari pisau, memang tidak langsung ke arahnya, tapi tetap saja.
"kau selalu mengatakan, lakukan semaumu!lakukan semaumu! lakukan apanya? mau ku hanya satu, keluar dari rumah ini, toh nanti aku juga kembali kok, kenapa sulit sekali bagimu untuk mengiyakannya?!" Nara menatap Seokjin dengan tatapan tidak suka, sementara Seokjin melihatnya dengan tenang.
Memang agak kaget diawal, tapi pria itu seolah bisa dengan mudah mengontrolnya menjadi lebih tenang. Nara menyadari bahwa sepertinya ia sudah kelewatan, apalagi saat ia menyadari bahwa lemparan pisaunya menyebabkan piring kecil Seokjin terbelah menjadi dua.
"M-maafkan aku." ucap Nara, pelan nyaris tak terdengar, pun ia memilih untuk meninggalkan tempat itu.
Nara berjalan sembari menunduk melewat Seokjin. Ia membawa langkahnya begitu cepat untuk masuk kekamar.
Seokjin menghela nafasnya dengan berat, ia kembali menoleh kearah piringnya yang sudah pecah.
"tolong bereskan." perintahnya, sembari melangkah cepat keluar menuju mobilnya.
---
Di perjalanan, Seokjin mengemudi sembari menonton adegan mengejutkan yang terjadi tadi pagi, seolah itu adalah film layar lebar yang sedang terputar tepat didepan matanya, Seokjin tak bisa fokus pada kemudi didepannya.
Ada rasa bersalah mulai menyelimutinya kali ini, penuturan Nara menjadi sebuah fakta yang menampar keras.
Pun ia menepi, dan meraih ponselnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Destiny
FanfictionKehidupan Jeon Nara sebagai wanita penghibur disebuah club malam berubah total saat CEO muda terkenal bernama Choi Seokjin menyewanya dalam jangka waktu satu tahun. Seokjin menarik Nara masuk jauh kedalam skenario tak beralur, membuat keduanya tersa...