020

6.9K 408 19
                                    

Arson membawa Devon ke apartemennya. Mereka berjalan beriringan dengan Devon yang mengikuti langkahnya, meski pemuda di belakangnya tidak mengeluarkan suara sama sekali sejak tadi.

"Duduk dulu sana" kata Arson memberi titah pada Devon. Sesaat kemudian baru dia ikut menghampirinya dengan kotak p3k dan segelas es teh yang dia bawa. "Sini coba diliat dulu mana yang sakit" kata Arson sambil menyiapkan perlengkapan untuk mengobati Devon.

Namun, ketika Arson siap untuk mengobati luka di wajahnya, Devon justru memalingkan wajah ke arah lain sebab tidak mau menatap Arson.

"Jangan nakal! Sini diobatin dulu itu lukanya!" kata Arson dengan tegas.

Devon menggeleng kecil. "Pulang... Devonnya m—mau pulang aja" cicitnya.

"Kenapa mau pulang?" Arson mengernyitkan alisnya bingung ketika mendengar suara Devon yang bergetar seperti menahan tangis.

Lagi-lagi Devon menggeleng. "G—gapapa. Devonnya cuman mau p—pulang aja"

"Coba ngomongnya sambil hadap sini! Gua mau liat muka lo dulu, baru abis itu kalo lo mau pulang nanti gua anterin"

Dengan gerakan kaku, Devon membalikan tubuhnya menghadap Arson, tapi dengan wajah yang tetap menunduk. Dia tidak berani mengangkat kepalanya untuk melihat Arson.

"Gua bilang mau liat muka lo dulu, apa omongan gua kurang jelas? Angkat kepalanya!" titah Arson dengan tegas sambil mengangkat dagu milik Devon untuk membuat dia mendongak menatapnya. Arson dibuat terkejut ketika mendapati Devon dengan matanya yang sudah berkaca-kaca. Arson jadi panik sendiri melihatnya. "Loh kok nangis? Ada yang sakit? Kasih tau gua sebelah mana yang sakit!"

"M—hm..." Garis bibir Devon semakin melengkung ke bawah, peelahan tetes air mata meluncur bebas dari matanya yang bulat. Hancur sudah pertahanan Devon. Dia langsung melepaskan tangisnya yang sudah tidak kuat lagi untuk dia tampung.

"Hei, hei kenapa? Apa yang sakit? Kasih tau gua ya, biar bisa diobatin sakitnya" Arson berusaha menenangkan dengan mengelus puncak kepala Devon, tapi tangannya justru ditepis kasar.

"Arson j—jahat... Devon gak suka. Pergi aja sana!!!" Devon menunduk sambil mengusap kasar airmatanya dengan punggung tangan.

"Gua? Gua ngapain?" tanya Arson mengerutkan alisnya bingung. Dia tidak mengerti apa yang telah dia lakukan sampai membuat laki-laki di hadapannya ini menangis begini

"Tadi itu Arsonnya bentak-bentak Devon gitu. Jahat!!" jerit Devon yang tantrum seperti anak kecil. Kakinya menghentak kesal menendang-nendang udara.

"Enggak, Devon. Kapan gua bentak-bentak?" Arson masih dibuat bingung karena belum bisa mendapat gambaran letak kesalahannya.

"Ih, tadi!!" Devon semakin menjerit dan merengek sambil kembali menendang-nendangkan kakinya dengan sedikit brutal sampai Arson beberapa kali terkena tendangannya dan memilih bergeser menyingkir dan akhirnya bangkit dari duduknya, mengambil posisi berdiri di hadapan Devon.

"Tadi yang mana? Gua gak suka ah sama anak nakal yang suka nendang-nendang gini. Coba gua dikasih tau dulu jahatnya dimana" kata Arson bicara dengan perlahan yang terdengar tegas mengintrupsi Devon yang berhasil membuat pemuda di hadapannya teediam ciut.

"T—tadi Arson bentak-bentak Devon disana. S—suaranya tinggi sampe Devonnya kaget...t—terus...dari tadi juga ngomongnya galak, matanya juga sambil serem kaya gini" Devon memperagakan bagaimana alis Arson yang menukik tajam meski dengan mata bulatnya yang tidak berhenti mengalirkan air mata. "Devonnya gak suka sama Arson...m—mau pulang aja..." kata Devon yang beriringan dengan isak tangisnya.

Arson menghela napasnya. Dia masih tidak bisa mengingat dengan pasti kapan dia meninggikan suara pada Devon, tapi jika itu mampu membuat Devon sampai menangis seperti ini, maka Arson tidak perlu alasan lain lagi untuk mengakui bahwa dia adalah orang yang bersalah. Arson mengerti bahwa Devon adalah orang yang mempunyai hati sehalus kapas dan mungkin benar kalau secara tidak sengaja tadi dia meninggikan suaranya karena terlalu khawatir.

Secret Innocence [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang